Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2018

Cinta Usia Senja

Tidak jauh dari kampus, beberapa bulan lalu sebuah toko buku dibongkar. Ternyata untuk diganti dengan toko buku yang baru. Sebelumnya toko buku tersebut adalah toko buku murah yang umumnya berisi buku-buku bacaan ringan. Ketika di pelataran toko buku yang sudah dibongkar itu terkibar spanduk, saya membaca, toko buku itu ternyata diambil alih oleh satu merek penerbitan besar. Sayangnya, sebelum sempat berkunjung ke sana, seorang teman terlanjur menginfokan bahwa toko buku tersebut hanya sebagai rumah lungsuran a.k.a toko buku khusus yang tidak laku. Penerbitan besar yang saya katakan tadi memang kerap menyisakan sejumlah buku penerbitannya yang kurang diminati di dalam rak khusus. Bahkan buku dengan harga Rp. 80.000 bisa ditemukan dengan bandrol Rp. 10.000.  Jadi, kata teman tadi, tidak menarik berkunjung ke sana, toko buku itu hanya berisi kertas buram saja. Setelah beberapa lama, saya ingat, toh saya pernah menemukan beberapa judul tidak terduga di rak diskon. Beberapa hari...

Seekor Laba-laba dan Hantu

Sebagai bagian dari generasi, sebuah era, kita adalah tubuh yang berjalan dan menjalankan. Sejarah mencatat berbagai pergerakan kecil kemudian menciptakan penanda waktu bagi sebuah zaman tertentu. Menakjubkan untuk hidup di antara orang-orang yang membentuk wajah zamannya. Saya tergila-gila atas segala yang terjadi di kurun abad 17-18 M. Sebagai seorang penyair (ehm) saya punya alasan khusus, keagungan romantisisme di masa itu melayangkan sebuah proses pemikiran seorang manusia terhadap diri dan jiwanya. Sekalipun bentuk puisi masa itu mungkin telah ditinggalkan penyair-penyair kini tetapi isinya saya rasa masih terus abadi. Dan sebagai manusia, saya merasa begitu miskin ketimbang nama-nama besar yang muncul masa itu. Sejak gerakan seni, sosial, ekonomi, dan politik, saya melihat masa itu sebagai titik tinggi pencapaian manusia dalam mencari dan menemukan diri dan dunia. Diri dalam dunia dan dunia dalam diri.  Dunia dari diri dan diri dari dunia.  Saya tertarik mencermati b...

Perahu yang Jauh

pasir dingin, kausimpan di dada, tujuh musim terang tujuh musim gelap, kaulayari laut ke langit, perahu mendaki angin, pulau dulu pulau nanti, pulau putih dalam mimpi orang mati,  pantai-pantai langit biru, ombak-ombak awan, daun bintang menjari melambai jauh, ke perahumu, bulan separuh 2018

Mustajabah

Saya ceritakan pada seseorang bahwa di waktu kemarin saya merasa sangat menginginkan sesuatu. Saya takut membayangkan air wajahnya ketika mendengar cerita saya itu. Karena keinginan yang kuat juga bisa membuat seseorang jadi serakah. Saya takut jadi serakah.  Saya memutuskan untuk mengembalikan keinginan saya kepada rumahnya. Saya khawatir juga kalau-kalau keinginan itu tersesat, tak bisa pulang, jadi gelandang di jalan-jalan. Saya berdoa pagi, siang, malam. Semoga ia sampai dengan selamat. Dan ternyata ia sampai di waktu yang tidak bisa lebih tepat dari itu. Saya seketika merasa miskin. Saya memulangkan keinginan saya dan kini tidak punya apa-apa lagi. Ternyata keinginan itu berlapis-lapis. Saya mengira Tuhan mengabulkan doa saya dengan mengamankan kepulangan keinginan saya pada rumahnya. Dan dengan begitu, Tuhan meniup saya jauh darinya. Keinginan saya tidak berhak saya inginkan lagi.  Duh, jagat. Kapan saya berdoa demikian khusyuk, di waktu yang mana, sehingga Tuhan mengabu...

Nasihat bagi Orang Jatuh Cinta

Seorang penyair bertanya pada saya: apa beda cinta dan puisi? Pikiran dan hati saya mendadak rumit ditanyai begitu. Saya merasa punya jawaban tapi saya tidak bisa menentukan narasi mana yang paling pas untuk dipilih dalam menjawab pertanyaan begitu. Apalagi dia penyair.  Berhari-hari saya memikirkan beberapa jawaban. Saya membayangkan kemungkinan efek yang diciptakan dari setiap jawaban. Sekali saya kira cinta itu buat kapan-kapan, puisi itu non-temporal. Sekali saya pikir cinta itu satu, puisi itu banyak. Sekali saya ingin bilang cinta itu begini, puisi itu begitu. Yang jelas, cinta dan puisi itu berbeda. Mana yang lebih genit di antara keduanya, tergantung situasi. Saya bisa tersita oleh puisi suatu kali, oleh cinta suatu kali. Tapi apakah saya bisa memilih antara cinta dan puisi, itu yang tidak bisa saya jawab. Bagi saya hari ini cinta telah menjadi gelombang yang tenang namun mengantar sebuah perahu ke seberang. Saya tidak pernah khawatir apakah cinta akan mengganggu puisi atau...

Sastra Official dan Ruang Kebebasan

Peradaban digital tentu sebuah dukungan mahabesar terhadap kebebasan ekspresi. Di YouTube, pemain game yang diam di kamar menjelma selebritas dengan lebih dari 200.000 penggemar. Hampir semua ruang konsumsi bisa diolah jadi sumber ketenaran. Orang-orang berselancar dalam channel-channel vlog untuk mendapatkan dan menikmati informasi: video klip lagu, turorial make up, how to cook Lontong Balap, update selebritas, kejadian lucu, laporan berita, huru-hara, dan sebagainya. Menariknya lagi karena nyatanya kegiatan tersebut mengandung uang. Pemilik vlog yang telah memiliki penikmat tetap itu bersponsor. Hari ini kita menyebutnya endorse (dari kata endorsment dalam bahasa Inggris) . Dukungan peradaban digital telah sampai menyentuh ruang seni, sastra khususnya -sebagai sebuah topik yang saking dekatnya dengan kehidupan malah sering kali terasa jauh. Tahun 2001 (atau mungkin sebelum itu) muncul istilah sastra cyber sebagai sebuah ruang alternatif sastra yang biasanya hadir dalam ben...

Penyair Gila

jiwaku 'kan naik ke langit, melampaui orbit matahari, aku pancangkan nama dan kelahiran di tanah angkasa merah, di mana taman bintang berbunga sepanjang tahun menghujani kuncup sendiri dengan embun tak habis-habis,  dilumuri serbuk angin hitam, sebab telah kucuci hati dengan air mata, sebagaimana ia yang menerima ruh dunia dengan jubahnya, bagai sari penghujan mahadingin menetes di kepala - o, ia kerasukan setan dunia, seumur hidup bersajak di gurun duka, mengabarkan pintu surga yang -mungkin, akan, tak pernah- terbuka 2018

Bergerak

Saya baru katakan pada seorang Eropa bahwa saya tidak sedang berharap. Dia bertanya tentang apa yang hendak saya harapkan ke depan. Saya awalnya menjawab entahlah. Tapi saya menambahkan pula, saya sedang tidak berharap. Lalu dia menambah, kenapa apa sudah tidak punya harapan? Saya tertawa. Saya terpikir mungkin diksi harapan yang dia gunakan (dan saya gunakan) punya ganti yang lebih tepat untuk mewakilkan maksud pertanyaannya. Saya jadi mengingat-ingat, harapan: expectation, hope, willing, wish, dan yang lain. Saya berpikir lagi, mungkin memang itu benar maksud pertanyaannya. “Saya sedang tidak berharap.” Saya katakan padanya, ya, sudah tidak ada harapan. “Sekarang saya tidak mau lagi berharap. Saya bergerak saja. Sudah tidak perlu berharap. Saya Cuma bergerak saja.” Saya katakan itu sambil tertawa. Mengangkat alis. Lalu kami menyeberang. Karena sisi yang kami ambil cukup merepotkan. Saya spontan saja menggumam, kita ke sana, kita ke sana lewat mana. Ternyata dia menyahut. ...

Jarak dan Batas

Even in Kyoto- hearing the cuckoo’s cry- I long for Kyoto -Basho Batas, adalah sebuah karunia Tuhan yang paling ajaib. Manusia telah didaulat -atau justru dikutuk- menjadi makhluk paling tinggi bahkan malaikat pun diperintah bersujud. Dan batas telah menjadi bagian dalam kehormatan itu. Kita mengenal Adam yang diturunkan karena sebuah dosa. Ia berjalan beratus-ratus tahun demi menyusur setiap titik bumi menemukan separuh dirinya kembali. Mungkin saja dulu  di sorga, Adam hidup tanpa batas.  Ia tak perlu berjalan beratus-ratus tahun menyusur titik sorga yang tak hingga untuk menemukan Eva. Tapi di bumi, karunia -atau kutukan itu- hadir sebagai ujian pertama. Beruntung mereka bisa menyelesaikannya. Seandainya benar, bahwa Adam dan Eva hidup tanpa karunia –atau kutukan- batas di sorga, saya membayangkan: mereka berdua yang baru turun ke bumi dalam wujud yang tidak utuh, hilang separuh. Mereka berjalan dan merasakan pertama kali, tanah, batas pertama yang mengha...

Di Malam Dramaturgi

Di malam Dramaturgi, dalam perjalanan pulang gerimis menyambut saya, terbalik. Gerimis dan ingatan yang terbalik. Seorang teman perempuan menarik saya ke bangku penonton. Tirai tertutup. Ada kecemasan seakan saya tengah bersiap di belakang panggung. Nanti, ketika tirai itu dibuka, beberapa aktor akan berdiri menonton saya dan berdialog dengan curiga. Untuk menghapusnya, saya bergumam, bismillah. Teman perempuan di sebelah bertanya kenapa, saya jawab, “mungkin saja kita akan menghadapi sesuatu yang buruk.” Dia mencium kesombongan padahal saya baru saja menguraikan kekalahan. Saya tidak bisa mengingkari trauma itu, tanpa sadar saya menoleh ke belakang. Teman itu bertanya lagi, kenapa menoleh ke belakang. Dia berpikir ada yang saya cari. Saya sudah berhenti mencari. Saya cuma tegang. Selalu ada yang buruk yang kita miliki di belakang. Saya teringat pelajaran pertama yang saya dapatkan sehabis sebuah Dramaturgi: ini adalah permainan. Serius dan tidak serius. Saya merasa perlu memastikan s...

Hutan Ketakutan

/1/ aku jatuh cinta pada tubuhmu yang sewarna tanah, kembang favoritku – mungkin- bisa tumbuh di sana, aku jatuh cinta padamu tapi panggilanku selalu ditelan suara mesin kapal, telingamu yang semanis perjalanan terlalu panjang, kaukah peri dari sorga yang mengecup bibir isa di akhir sebuah doa? adakah pertemuan ini sebuah upacara suaramu telah membebaskan rohku untuk selamanya tapi langit menolakku, bumi menolakku, setiup angin di kahayan menciutkanku ke dalam bentuk terburuk semesta, aku terbuang sebagai sampah yang sendirian, mengapung, menebak-nebak arah muara, di kapuas yang jauh, sebuah besi penuh karat ingatan tentangmu tenggelam “tuhan mengirim gerhana ke hati orang-orang durhaka seperti hutan membeku dan hitam sepertiku, jauh dari kedamaian meski tak henti dzikirku mengingat namamu, bahasa mengekalkanku dalam kebodohan, melupakannya justru membukakan untukku sumur mati, di mana semua teriakan terpantul lalu kembali dengan kekosongan yang lebih lengkap, angka-angk...

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Hopla