/1/
aku jatuh cinta pada tubuhmu yang sewarna tanah, kembang
favoritku – mungkin- bisa tumbuh di sana, aku jatuh cinta padamu tapi
panggilanku selalu ditelan suara mesin kapal, telingamu yang semanis perjalanan
terlalu panjang, kaukah peri dari sorga yang mengecup bibir isa di akhir sebuah
doa? adakah pertemuan ini sebuah upacara
suaramu telah membebaskan rohku untuk selamanya tapi langit
menolakku, bumi menolakku, setiup angin di kahayan menciutkanku ke dalam bentuk
terburuk semesta, aku terbuang sebagai sampah yang sendirian, mengapung,
menebak-nebak arah muara, di kapuas yang jauh, sebuah besi penuh karat ingatan
tentangmu tenggelam
“tuhan mengirim gerhana ke hati orang-orang durhaka seperti
hutan membeku dan hitam sepertiku, jauh dari kedamaian meski tak henti dzikirku
mengingat namamu, bahasa mengekalkanku dalam kebodohan, melupakannya justru
membukakan untukku sumur mati, di mana semua teriakan terpantul lalu kembali
dengan kekosongan yang lebih lengkap, angka-angka kabur, jarak menggamang, tak
ada selain kesiaan membentuk benteng di duniaku, kini waktu hanya tanda bagi
rasa hausku, ketakpuasan yang dirampungkan kubur atau pelukanmu.”
memahat gunung, sepi membangun rumah sendiri di jantungku,
rumah-rumah kapur yang kering dan putih, tak bisa kukenali jendela dan pintu hanya lobang terbuka, kau
bisa masuk dan merajalela di dalam rumah sepiku, menjarah, mengantar sunyi ke
ujung moksa, walau maut adalah akhir kisah yang lain dari sejarahku
mayat-mayat mengutukku, musik kematian mengeras dan berbau
nafasku, neraka mengirim tangan ke ubun-ubunku
pengetahuan hanya mengenalkan manusia padaku sebagai pohon,
batu yang menjadi pohon, aku pun mengeras bersama ulin, bersama ribuan tahun
kesungguhan, di senyummu, seluruh makhluk berteduh, tapi tiada hujan
kauturunkan demi ketandusanku, sungguh di antara kita berdua ada hutan yang
lebat, sedang terbakar
/2/
aku jatuh cinta pada tubuhmu sejak
kulihat potongan lembut yang tak diwarisi sutra mana pun, jibrilkah yang
menitipkan sayapnya ke sepasang cahaya di kepalamu? kau mengerling seperti
gerak telunjuk ibu memainkan kelingking anaknya, aku pun seketika memahami
serentet tanda acak mengapa tuhan menciptakan rasa takut –yang sempit, seerat air memeluk dada dan merampas
kemerdekaan darinya
betapa penderitaan dekat di kulitku
seakan langit sahara berpindah, betapa dusta, betapa ternyata lebih mulia waktu
yang jahat menciptakan kebahagiaanmu tanpa menyebut namaku, dan kegelapan telah bersaksi, akulah pencipta
cantikmu di antara huruf kaf dan nun-ku, di jembatan itu kusambung dosamu
dengan aroma mabuk dari segala anggur dan ciuman, kurentangkan sebuah gerbang
yang dipenuhi namamu yang dicatat tiap kali iblis menang dalam perang
betapa puisi terlanjur menerbangkanku ke mari meski kau tak
butuh cinta hari ini, sebagaimana tak semua orang membutuhkan sungai tapi
mengenal ketakutan, aku lupakan kehangatan dari musim gugur, tangan-kakiku
hitam dibakar satu bintang paling panas yang tidak terbit di timur
Palangka Raya-Surabaya, 2014-2017
Komentar
Posting Komentar