Langsung ke konten utama

NIRLEKA


Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia.
Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka.
Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan.
Dunia yang tanpa aksara mungkin adalah masa di mana kerja ingatan atau harus disebut ‘memori’ berada di puncak fungsi. Ketiadaan aksara memberi ruang besar untuk bentuk lain pencatatan. Di dalam otak manusia merekam informasi, gambar, momen; dalam bentuk bunyi-bunyi. Artinya, manusia tetap mencatat meski bukan dengan huruf-huruf.
Peradaban orang Jawa mengenal ilmu titen. Ilmu mengingat. Sebelum kitab Primbon dibaca dalam lembaran-lembaran daluwang yang sistematis itu, orang Jawa telah mempraktikkan ilmu kepekaan atas gerak alam yang luar biasa. Semuanya sebagai warisan nenek moyang. Warisan ingatan-ingatan. Kata titen (bahasa Jawa) dalam bahasa Indonesia sejajar dengan ‘mengingat’ dan ‘menandai’. Dua kerja bersamaan yang dilakukan untuk mendapatkan kategori, pengelompokan, dan makna. Praktiknya terangkum dalam metode menghafal.
Orang Jawa dahulu tidak perlu membolak-balik Primbon untuk mengira waktu hujan atau ke mana arah pulang. Segala bentuk kehidupan: tanda dan maknanya, telah menjadi laku yang diilhami, dihayati dengan dalam dan spiritual. Orang Jawa mengingat dunia sebagai tubuh yang hidup, yang beruh, dan berbahasa. Mereka mendengar pesan dan membalas semesta juga dalam bahasa. Mereka saat itu belum perlu menuliskannya. Keberlangsungan peradaban yang menuntut penulisan, dan hari ini kita mengingat puncak keberaksaraan orang Jawa dalam kisah Ajisaka.
Sementara di luar Jawa, jauh sekali, di tanah Madinah sebelum kepemimpinan Umar bin Khattab, Al-Quran –seperti Primbon – hidup aman dalam ingatan para penghafal. Bahkan Muhammad seumur hidupnya buta aksara. Tapi ternyata keadaan tersebut tidak membuat dunia kehilangan cahaya. Al-Quran terus dibaca dan Muhammad masih abadi.
Nirleka sebermula tidak pernah menjadi aib. Bahkan mungkin bahasa justru menjadi sulit karena hari ini kita diharuskan menulisnya. Kita hanya menulis tanpa lebih dulu menafsiri apapun. Mereka yang tinggal di Jawa hari ini mungkin bukan titisan Ajisaka dan tidak mengilhami kitab suci manapun. Tapi manusia selalu tumbuh sebagai penyusun ingatan. Di dalam kepala kita masing-masing segumpal daging bermassa 1,5 kilogram dipenuhi lebih dari 1.000.000 gigabyte  informasi. Maka seharusnya kita memiliki ruang yang cukup untuk membaca dunia yang tidak berhuruf ini. Dunia yang sejak awal bicara pada kita.
Kita yang hari ini menghafal aksara di luar kepala (mungkin) telah lupa bahwa aksara diciptakan unuk merekam bahasa –atau mengikatnya. Kita tidak sadar bahwa kita belum selesai menyimpan ingatan tapi telah buru-buru menuliskan.
Di abad ke-7 SM, dunia membaca dalam Praeneste Fibula: MANIOS:MED:FHEFHAKED:NUMASIOI. Manius membuatku untuk Numerius. Hari ini kita tidak mencari Manius. Tidak mengenal Numerius. Jika saja Numerius adalah angka-angka yang hidup, apakah hari ini kita bisa mengira-ngira kembali untuk apakah aksara? (*)



Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...