Langsung ke konten utama

Jarak dan Batas

Even in Kyoto-
hearing the cuckoo’s cry-
I long for Kyoto
-Basho

Batas, adalah sebuah karunia Tuhan yang paling ajaib. Manusia telah didaulat -atau justru dikutuk- menjadi makhluk paling tinggi bahkan malaikat pun diperintah bersujud. Dan batas telah menjadi bagian dalam kehormatan itu.

Kita mengenal Adam yang diturunkan karena sebuah dosa. Ia berjalan beratus-ratus tahun demi menyusur setiap titik bumi menemukan separuh dirinya kembali. Mungkin saja dulu  di sorga, Adam hidup tanpa batas.  Ia tak perlu berjalan beratus-ratus tahun menyusur titik sorga yang tak hingga untuk menemukan Eva. Tapi di bumi, karunia -atau kutukan itu- hadir sebagai ujian pertama. Beruntung mereka bisa menyelesaikannya.

Seandainya benar, bahwa Adam dan Eva hidup tanpa karunia –atau kutukan- batas di sorga, saya membayangkan: mereka berdua yang baru turun ke bumi dalam wujud yang tidak utuh, hilang separuh. Mereka berjalan dan merasakan pertama kali, tanah, batas pertama yang menghalanginya dengan belahan ruang yang lain (sorga, bagaimana pun, tentu tidak berbentuk bola). Lalu mereka bersuara, saling memanggil dan hanya mendengar kekosongan. Udara yang hidup dalam ruang ada dan tiada, memberikan keluasan sekaligus pemisah yang paling menyakitkan. Seakan-akan tak ada apapun yang menjadi penghalang, tapi suara mereka tak pernah sampai.

Seandainya, sesampainya mereka di bumi pertama kali tidak ada batas itu, saya menerka-nerka, apakah masih menarik kisah Adam dan Eva?

Tapi dalam beberapa catatan, sesuatu yang besar memang terjadi karena kita mendengar. Lebih dari 1480 tahun yang lalu, suara Bilal bin Rabah mengubah tata awal ibadah kaum muslim. Hingga kini, kita percaya bahwa waktu subuh, dhuhur, ashar, maghrib, dan isya itu, dibatasi oleh adzan.

Dalam sebuah film anime Jepang, One Piece, suara terakhir dari seorang raja Bajak Laut menyulut perjalanan panjang sebuah generasi untuk berebut kebebasan. Kita mungkin juga sama-sama percaya, bahwa kebebasan bukan hal yang cuma-cuma.

Seandainya adzan suatu kali tidak terdengar, berarti tidak datang waktu-waktu itu. Betapa sempit. Kita memahami ruang-waktu dengan pendengaran dan melupakan bahwa ruang-waktu memiliki suaranya sendiri. Suara yang terus hidup dalam masa pencarian Adam dan Eva sekali pun mereka tidak dapat menangkap apa-apa. Suara yang tidak bergantung pada mulut dan telinga kita.

Ketika lebih seribu tahun dari Bilal, Basho menulis, Even in Kyoto-/hearing the cuckoo’s cry-/I long for Kyoto, kita dipaksa berpikir apakah udara dan jarak masihlah kepastian. Saya pun tidak benar-benar yakin apakah saya menangkap maksud Basho dengan tepat. Tapi mungkin setidaknya ada jarak yang terbaca dalam sebait haiku itu. Ada sebait jarak yang terbentuk dalam keterbacaan itu. Jarak yang lahir justru dari ketiadaan batas. Jarak yang mungkin justru lahir di sorga, ketika setiap diri adalah dekat tetapi semakin mengilhami masing-masingnya.

Apakah tangisan beburung, di suatu Kyoto, menjadi bukti keberadaan bagi Basho? Seperti suara adzan yang selalu membuktikan keberadaan waktu. Mungkin di sorga yang tidak ada batas itu, justru tidak ada suara. Tidak ada keberadaan, tidak ada rindu. Hanya sorga.


Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...