Seorang penyair bertanya pada saya: apa beda cinta dan puisi?
Pikiran dan hati saya mendadak rumit ditanyai begitu. Saya merasa punya jawaban tapi saya tidak bisa menentukan narasi mana yang paling pas untuk dipilih dalam menjawab pertanyaan begitu. Apalagi dia penyair.
Berhari-hari saya memikirkan beberapa jawaban. Saya membayangkan kemungkinan efek yang diciptakan dari setiap jawaban. Sekali saya kira cinta itu buat kapan-kapan, puisi itu non-temporal. Sekali saya pikir cinta itu satu, puisi itu banyak. Sekali saya ingin bilang cinta itu begini, puisi itu begitu.
Yang jelas, cinta dan puisi itu berbeda. Mana yang lebih genit di antara keduanya, tergantung situasi. Saya bisa tersita oleh puisi suatu kali, oleh cinta suatu kali. Tapi apakah saya bisa memilih antara cinta dan puisi, itu yang tidak bisa saya jawab. Bagi saya hari ini cinta telah menjadi gelombang yang tenang namun mengantar sebuah perahu ke seberang. Saya tidak pernah khawatir apakah cinta akan mengganggu puisi ataupun sebaliknya. Kenapa memangnya harus dipilih di antara keduanya?
Penyair itu mencurigai puisi saya. Saya tahu. Dalam hati juga saya berkata kenapa saya harus menjawab pertanyaannya. Jadi waktu itu saya berkelit, dia pikir saya tidak punya jawaban. Mungkin benar juga. Apalagi saya toh sedang jatuh cinta.
Menenangkan diri ketika jatuh cinta dan menulis puisi memang situasi yang sulit sekali. Tapi sekarang ini saya sudah bisa menasihati diri sendiri, bahwa cinta buat kapan-kapan, meski mungkin akan tetap cuma satu, dan begini. Begini.
Komentar
Posting Komentar