Peradaban
digital tentu sebuah dukungan mahabesar terhadap kebebasan ekspresi. Di
YouTube, pemain game yang diam di
kamar menjelma selebritas dengan lebih dari 200.000 penggemar. Hampir semua
ruang konsumsi bisa diolah jadi sumber ketenaran. Orang-orang berselancar dalam
channel-channel vlog untuk
mendapatkan dan menikmati informasi: video klip lagu, turorial make up,
how to cook Lontong Balap, update selebritas,
kejadian lucu, laporan berita, huru-hara, dan sebagainya. Menariknya lagi
karena nyatanya kegiatan tersebut mengandung uang. Pemilik vlog yang telah
memiliki penikmat tetap itu bersponsor. Hari ini kita menyebutnya endorse (dari kata endorsment dalam bahasa Inggris).
Dukungan
peradaban digital telah sampai menyentuh ruang seni, sastra khususnya -sebagai
sebuah topik yang saking dekatnya dengan kehidupan malah sering kali terasa
jauh. Tahun 2001 (atau mungkin sebelum itu) muncul istilah sastra cyber sebagai sebuah ruang alternatif sastra yang biasanya
hadir dalam bentuk cetak (buku, koran, majalah). Istilah cyber merujuk pada penggunaan media internet: situs, blog, milis,
dan forum diskusi daring untuk aktivitas sastra. Kelebihan dan kekurangannya
terus dibenahi. Ketakutan bahwa sastra cyber kendur dalam memfilter kualitas
karya terus dikurangi. Banyak pengarang yang mulai aktif dalam blog pribadi,
portal-portal berita khusus sastra dihidupkan, bahkan komunitas sastra daring
dibentuk: cybersastra.org, duniasastra.com, jendelasastra.com, rumpunnektar.com, basabasi.co, litera.co.id, haripuisi.com,
dan ratusan lainnya. Di kancah dunia, kemunculan situs-situs demikian juga amat
ramai. Misalnya poetryfoundation.org yang sudah aktif sejak tahun 2003, berkiat
khusus untuk genre puisi. Adakah pembacanya, situs-situs sastra yang ribuan
itu?
Dalam visi
sederhananya, pada sastra cyber kita membaca sebuah usaha dokumentasi dan
pemendekan jarak antara sastra dengan generasi masa depan. Namun sebelum
cita-cita itu maksimal, internet telah dipenuhi berbagai bentuk keasyikan yang
lain. Peradaban digital melaju lebih cepat dari usaha optimalisasi sastra
cyber. Yang paling anyar dan hangat adalah kemunculan aktifitas sastra dalam
media sosial Instagram dan LINE. Dua jejaring yang belum
ditinggalkan.
Nyatanya dalam
beberapa kesempatan, remaja, pemuda kita, mengakui bahwa Facebook sudah basi.
Twitter yang mini itu sudah tidak asyik lagi. Yang masih digandrungi di
antaranya adalah Path, Snapchat, dan ask.fm. Sementara BBM dan WhatsApp hanya
untuk kepentingan berkomunikasi, Instagram dan LINE hadir sebagai tangan
panjang sastra cyber hari ini. Toh para remaja, pemuda kita, mengakrabinya
lebih daripada kehadiran blog dan situs-situs sastra. Bisa dipertaruhkan dalam
tiap Smartphone-nya, dua media sosial
tersebut pasti ada.
Aktivitas sastra
media sosial dapat ditelusuri pada sejumlah OA, Official Account, pada Instagram maupun LINE. Biasanya akun-akun
tersebut menamai diri dengan kata seputar bidang bahasa, bentukan romantis
seperti: kumpulan puisi, ketikata, narasi zaman, yang terdalam, melodi dalam
puisi, dan sebagainya. Mereka bermain secara visual. Kata-kata tidak diedarkan
sebagai hasil ketikan saja tetapi melalui editing
foto, bahkan video. Pembatasnya bukan maksimal karakter, tapi besar pixel.
Kata-kata dikutip dalam skala ruang 4:4.
Untuk OA
tertentu permainan ini berbayar. Mereka yang ingin ambil bagian dikenakan
sejumlah tarif paket untuk mempromosikan dirinya melalui kata-kata. Tujuan
promosi beragam, beberapa butuh dikenal karena mereka berdagang. Berkata-kata
untuk berdagang. Dagangannya juga beragam, buku, kaos, sampai pelembab wajah.
Beberapa lainnya mempromosikan diri untuk dikenal. Dikenal saja.
Label official yang disediakan media sosial
berkembang jadi sebentuk legitimasi. Tanpa sadar memberikan kemegahan khusus
pada akun-akun (pribadi dan kelompok) untuk membentuk ekosistemnya. Kata-kata
yang diedarkan pada OA-OA tersebut diciptakan dan dikonsumsi atas nama sastra.
Berbaur dengan kutipan dari novel Pram, sajak-sajak Rendra, baris-baris puisi
Jokpin yang jenaka, siasat-siasat Sapardi, dan sebagainya. Kebutuhan akan
massa; kita telah dijangkit virus kecemasan yang baru. Dunia kita yang tetap
bertembok ini rupanya tidak punya pintu. Siapapun bisa masuk dan keluar.
Menembus dinding.
“Aku menggenggam malam
dalam kerinduan
tanpa tau cara melepaskan
di sudut malam
....”
(@tira_nurhayati/Instagram/
OA @puisilangit, 18 Agustus 2016)
“Hatiku jatuh perlahan, seiring
langkahmu menjauhi ingatan,
menciptakan keheningan.
Kosong namun menyesakkan.“
(@sabdaliar /LINE/
OA Kumpulan Puisi, 26 Januari 2017)
“Ternyata menunggumu tak seindah
malam-malam saat nafas kita beradu.
Ragaku mulai jenuh ditiduri duka,
hatiku mulai sakit didekap rindu.”
(@nadiaaros/Instagram/OA
@yang.terdalam, 31 Desember 2016)
Dalam sehari,
sekitar 3-20 gambar beredar dari satu akun. Diberi reaksi, komentar, tanda
hati, disebarkan ulang. Dapat dibayangkan betapa luas jaringan yang
melingkupnya. Jumlah followers satu OA bahkan ada yang mencapai 1.000.000
orang, sebagian besar: remaja. Jika seorang saja membagikan satu postingan
sebuah OA, maka pembacanya jadi bertambah sejumlah followers orang tersebut,
berapa total pembacanya? Angka yang fantastis mengingat selama ini sastra
seringnya hadir jadi konsumsi kalangan sendiri. Sastra cetak kita yang dibangun
sejak Balai Pustaka hingga hari ini pernahkah menembus jejaring yang demikian? Jembatan
antara sastra dan pembaca sungguh perlu. Kemunculan aktivitas sastra oleh OA-OA
menyumbang peran yang luar biasa akan penyebaran sastra kepada remaja, pemuda
kita.
Efek yang
demikian ternyata adalah bagian dari strategi pengembangan media sosial.
Disadari dan diperhitungkan. Sebuah artikel pada situs japansociety.org
melansir wawancara bersama Akira Morikawa, Chief
Executive Officer LINE Corporation pada tanggal 17 Oktober 2013. Morikawa menyadari
bagaimana LINE –yang lahir dari gempa Tohoku- akan menjelma perusahaan
komunikasi dunia di tengah kecepatan perubahan. Ia berkata, seperti orang-orang
Jepang, “we try not to think too far into the future.” LINE dan OA-OA -nya
berlari mengejar hari ini. Dunia sastra kita ikut dalam rombongan itu. Di
Indonesia, lima tahun yang lalu remaja kita menulis dalam buku-buku diary yang terkunci. Tiga tahun kemudian
berakhir di pembakaran sampah sebagai potensi yang tidak akan pernah
diselamatkan. Tidak terketahui. Tidak terkenali. Tapi hari ini betapa meriahnya
sastra kita.
Sastra perlu dan
butuh dibaca (mungkin) dengan semeriah itu. Kemeriahan yang belum juga
memastikan tafsirnya. Di ruang-ruang diskusi, kita masih terlampau genit untuk
jadi (dan mengakui seorang) kritikus. Setiap tahun lebih dari tiga ratus sarjana
sastra diuji. Tapi kata-kata yang disebar dalam OA-OA berbiak lebih cepat; atas
nama sastra. Ataukah kita akan berdebat itu bukan sastra?
Peradaban
digital adalah ruang kebebasan. Yang resmi –yang bukan, yang belum, diwadahi. Mungkin
kita terjebak dalam ‘kebebasan’. Ruang seni (dan sastra) kadang cuma pembenaran
kegiatan ekspresi, khususnya dalam memaknai kata ‘bebas’ yang jadi aturannya
itu. Pada beberapa ironi yang muncul akhirnya, kita sama sekali lupa bahwa seni
(dan sastra) hadir dari sebuah disiplin: logika, akal manusia. Saat berada
dalam ketidakberpikiran sekali pun, seni (dan sastra) lahir dari ruang yang
disebut ‘alam bawah sadar’. Maka sebenarnya, dalam kebebasan kreasi itu,
pembacaan terhadapnya tidak mungkin pula mengingkari keberadaan ‘akal’ sendiri.
Seni (dan sastra) suka tidak suka, dinikmati, direaksi, dalam batasan logika
dan kepala pemirsanya. Yang terjadi Instagram dan LINE pun bagian dari itu.
Kita pernah
mengalami masa fiksimini di Twitter (sekitar
tahun 2010) seiring berkembangnya sastra cyber. Kita masih bisa menikmatinya
pada akun @fiksimini yang masih aktif berkicau. Apa daya, berbagai isu mengubah
dunia. Agus Noor, penggagas gerakan fiksimini
itu menulis dalam kicauannya 24 Januari lalu: “Kembalikan twitter buat yang asyik-asyik”. Komentar ini
disampaikan menanggapi isu-isu politik yang memenuhi Twitter menjelang Pilkada
2017. Konflik negara, seperti kita, berpindah dalam wacana-wacana genit di
internet. Twitter menjelma forum parlemen di mana orang-orang mewakili diri
masing-masing. Orang-orang membentuk polis-nya
sendiri, penuh gairah dan kepercayaan.
Hari ini ruang itu hanya kita pahami sebagai politis. Politis saja,
tanpa keluhuran. Begitulah Facebook sudah basi dan Twitter tidak asyik lagi.
Aktivitas sastra
daring makin menyatui dunia visual, foto-foto, film pendek, tapi studi
alihwahana belum selesai merekam seluruhnya. Semuanya lewat saja seakan tidak
membekas-ciptakan apa-apa. Justru di saat dunia dan informasi begitu mudah
dijejaki. Kita selalu penasaran apakah yang dibicarakan Hatta dalam jengukan
terakhirnya pada Soekarno menjelang kematian. Tidak ada catatan, tidak ada
saksi. Tapi hari ini di media sosial seluruh dunia jadi saksi. Aktivitas sastra
yang bergairah, berlarat-larat, dan kadang picisan itu, siapa yang memulainya,
apakah sejarah mencatatnya?
Dalam gerakan
mahacepat ini kita harus bergerak lebih gesit lagi. Dua puluh tahun dari
sekarang pembuktian-pembuktian itu tertimbun. Apakah kita akan menunggu lima
puluh tahun lagi: seorang mahasiswa sejarah memilih ‘peristiwa cyber’ sebagai
bahan skripsi, Google yang tua itu entah punya ruang untuk dinapaktilasi. Data
disimpan dengan sangat cepat, dilupakan dalam sangat singkat. Betapa malangnya mahasiswa
itu. Seandainya catatan-catatan dirawat lebih hati-hati.
Tapi mungkin itu
tidak akan terjadi. Mungkin kita tidak terjebak ‘kebebasan’. Kita menulis sambil
merawat pikiran seperti puluhan karyawan di San Francisco, Jepang, Thailand,
Taiwan, Spanyol yang bekerja keras menjaga akal di hadapan cahaya digital,
menebalkan lensa kacamata, menipiskan retina: ngopeni Instagram dan LINE. Demi masa depan, meski seperti kata
Morikawa, tidak perlu terlalu jauh.
*Lahir di
Surabaya, baru saja menyelesaikan studi humaniora di Universitas Airlangga.
*Tulisan ini
dimuat di Majalah Panji Balai, Edisi
5, Tahun III, Januari-Juni 2017
Komentar
Posting Komentar