Langsung ke konten utama

Seekor Laba-laba dan Hantu

Sebagai bagian dari generasi, sebuah era, kita adalah tubuh yang berjalan dan menjalankan. Sejarah mencatat berbagai pergerakan kecil kemudian menciptakan penanda waktu bagi sebuah zaman tertentu. Menakjubkan untuk hidup di antara orang-orang yang membentuk wajah zamannya.
Saya tergila-gila atas segala yang terjadi di kurun abad 17-18 M. Sebagai seorang penyair (ehm) saya punya alasan khusus, keagungan romantisisme di masa itu melayangkan sebuah proses pemikiran seorang manusia terhadap diri dan jiwanya. Sekalipun bentuk puisi masa itu mungkin telah ditinggalkan penyair-penyair kini tetapi isinya saya rasa masih terus abadi. Dan sebagai manusia, saya merasa begitu miskin ketimbang nama-nama besar yang muncul masa itu. Sejak gerakan seni, sosial, ekonomi, dan politik, saya melihat masa itu sebagai titik tinggi pencapaian manusia dalam mencari dan menemukan diri dan dunia. Diri dalam dunia dan dunia dalam diri.  Dunia dari diri dan diri dari dunia.  Saya tertarik mencermati bagaimana komunal-komunal bergerak dan memberikan efek. Bahkan merka tidak disusun oleh kuantitas yang besar, tetepi tiap-tiap kepala menyumbangkan kesatuan hidup masing-masing. Saya iri, karena mereka yang hidup di masa itu melakukannya tanpa dibayang-bayangi yang lain. Ingat betapa yang lain selalu mengganggu segalanya.
Saya bermimpi gila untuk menjadi bagian dari mereka. Seandainya Tuhan menurunkan saya sebelumnya. Saya pernah katakan kepada seorang teman, di waktu ini saya terjebak di abad 18 sementara orang-orang berjalan, dijalankan dan menjalankan waktu. Saya melihat orang-orang bergerak tapi tidak ada yang berubah. Sementara saya, sendirian, hidup dalam masa di mana puisi dijunjung tinggi dan pengetahun lahir sebagai kupu-kupu paling sempurna. Beberapa waktu dari sekarang, orang-orang di Perancis akan bergerak, membentuk  kekacuan, revolusi, dan akhirnya kekacauan yang baru.
Atau mungkin, saya sendirian yang justru sedang berjalan mundur. Saya bukan seorang peri dalam Oberon, Titania, and Puck with Fairies Dancing yang dilukis Blake itu.  Kadang justru saya melompat-lompat dari seekor laba-laba Wordsworth ke seorang hantu Joan Miro yang putih. Lalu saya melahirkan diri saya kembali sebagai seekor semut yang mencari sisa tubuh seseorang di kulit sendiri. Dan orang-orang masih terus berjalan. Dijalankan dan menjalankan waktu. Saya melihat mereka sebagai tubuh yang selalu asing dan berjarak dengan diri saya. Saya selalu ingin melontarkan pertanyaan, apakah mereka tidak mau berjalan bersama saya? Saya melihat masa depan tapi tidak ada apapun yang terpantul di cermin. Saya tidak bisa membaca apa yang tampak dari tubuh-tubuh itu.

Mungkin era ini belum punya wajah. Saya khawatir saya juga hanya melompat-lompat tanpa berpindah.

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...