Langsung ke konten utama

Cinta Usia Senja

Tidak jauh dari kampus, beberapa bulan lalu sebuah toko buku dibongkar. Ternyata untuk diganti dengan toko buku yang baru. Sebelumnya toko buku tersebut adalah toko buku murah yang umumnya berisi buku-buku bacaan ringan. Ketika di pelataran toko buku yang sudah dibongkar itu terkibar spanduk, saya membaca, toko buku itu ternyata diambil alih oleh satu merek penerbitan besar.
Sayangnya, sebelum sempat berkunjung ke sana, seorang teman terlanjur menginfokan bahwa toko buku tersebut hanya sebagai rumah lungsuran a.k.a toko buku khusus yang tidak laku. Penerbitan besar yang saya katakan tadi memang kerap menyisakan sejumlah buku penerbitannya yang kurang diminati di dalam rak khusus. Bahkan buku dengan harga Rp. 80.000 bisa ditemukan dengan bandrol Rp. 10.000.  Jadi, kata teman tadi, tidak menarik berkunjung ke sana, toko buku itu hanya berisi kertas buram saja.
Setelah beberapa lama, saya ingat, toh saya pernah menemukan beberapa judul tidak terduga di rak diskon. Beberapa hari lalu saya putuskan iseng masuk ke toko buku itu.
Saya habiskan waktu dua jam di dalam rak buku tanpa kategorisasi genre yang jelas. Buku-buku ditata berdasarkan harga, mulai dari Rp. 10.000-Rp 80.000. Dan saya menemukan tiga  buah buku menarik. Salah satunya adalah: Danau Angsa, sebuah antologi haiku.
Buku tersebut nyatanya dipenuhi oleh nama-nama penyair yang tidak asing. Dari 500 haiku, salah satu yang menyulut saya untuk melakukan lebih dari sekadar membaca:

Cinta Usia Senja

satu tanganku
digenggam erat
menyeberangi jalan

(Evi Manalu)
Haiku yang biasa ditulis dalam format 5-7-5 suku kata, dalam bait tersebut tampak sedikit dimodifikasi jadi 5-5-7.  Dengan demikian muncul imaji yang jelas akan tanganku. Pengubahan tersebut tampak dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Jika pola tetap dipaksakan 5-7-5 maka situasinya akan jauh berbeda dengan apa yang dituju oleh si penulis.
Keberadaan tanganku dalam ait tersebut menunjukkan keberadaan aku lirik. Namun cinta yang membingkai situasi tersebut, justru menimbulkan ambiguitas. Saya tergelitik untuk mengira-ngira, siapakah yang menggenggam erat? Saya membayangkan bahwa situasi tersebut tidak dibentuk oleh kehadiran sepasang kekasih yang saling mencintai.
Satu tanganku/digenggam erat/menyeberangi jalan
S                                 P                              (S)-P
Saya mereka antara situasi satu tanganku digenggam erat ada subjek lain yang lesap oleh enjambemen. Sujek yang tidak cukup diisi oleh kata lalu. Merujuk pada pola silogisme, bisa jadi kalimat asli pada bait tersebut tertulis:
Satu tanganku digenggam erat
Satu tanganku menyeberangi jalan

Dan tampaknya pola tersebut tidak dapat disepakati. Kalimat kedua, satu tanganku menyeberangi jalan menyalahi pertimbangan pengubahan format 5-5-7 yang diungkapkan sebelumnya. Artinya ada diksi lain yang membayang antara baris kedua dan ketiga.
Saya percaya bahwa puisi selalu lengkap di dalam dirinya. Dalam wujud demikian, entah kenapa saya merasakan kegetiran dalam haiku tersebut. Saya begitu saja membayangkan bahwa menyeberangi jalan adalah situasi kunci. Menyeberangi jalan bukan hanya soal seorang tua yang selalu tampak butuh bantuan. Seorang tua yang menyeberangi jalan, saya rasa haiku tersebut terlalu penting untuk sekadar menulis itu. Dan ya, saya terus mengira-ngira, siapakah yang menggenggam erat di sana.
Sungguh saya merasa bahagia dan iba. Buku yang sedemikian cantik saya temukan di antara slogan-slogan marketing. Saya sedang tidak punya banyak uang dan saya ikut menghina buku tersebut dengan membayar Rp. 20.000. Apa kata penyair atas yang saya perbuat ini.
Dan bahkan untuk sebait haiku, saya butuh waktu yang lama sekali.
Saya menyadari ada satu hal yang menarik. Satu-satunya frasa yang menunjukkan fungsi subjek selain satu tanganku dalam haiku tersebut adalah cinta usia senja. Jika saja:
Satu tanganku/ digenggam erat/ (cinta usia senja)/menyeberangi jalan
Apa kata penyair atas yang saya perbuat ini?
Sejak mula saya tidak membayangkan bahwa usia merujuk pada aku lirik sebagai satu-satunya persona dalam situasi. Satu-satunya manusia. Jika dibiarkan diksi cinta mengalami personifikasi, maka usia senja dalam haiku tersebut adalah satuan waktu yang panjang. Menunjukkan suatu kelampauan dan kedalaman. Suatu asal dan sebermula: cinta yang tua.
Cinta usia senja menyeberangi jalan. Saya merasa membaca kepergian. Perpisahan. Dihantarkan oleh keikhlasan yang menggenggam erat tangan si aku. Suatu kerelaan dan keberanian untuk beranjak ke seberang, dengan tubuh yang hampir surup. Keberanian yang tua.
Lalu saya jadi mengira-ngira, siapa yang ada di belakang sana?

Surabaya, 2018





Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...