Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2019

Memotret

Aku sedang bongkar-bongkar berkas foto. Teringat sepasang flamingo yang kupotret tahun lalu di kebun binatang. Dua burung merah muda tertidur di bawah matahari pagi, menyandarkan kepalanya ke belakang tubuh. Dua burung merah muda yang mirip satu sama lain, adakah mereka memandang mimpi yang lain dengan mata yang sama? Kalau aku bermimpi malam ini, aku ingin menatap mimpiku dengan matamu. Boleh malam ini aku pinjam matamu? Hari-hari terakhir berjalan cepat dan menciptakan perubahan yang besar. Aku berencana menjalani beberapa waktu ini dengan logika penuh, tidak terjebak pusaran kegilaanku, tapi beberapa peristiwa mengantarku ke ujung jurang kegilaan orang lain. Seorang teman mengirimkan hasil diagnosa kejiwaannya. Sehari sebelumnya aku pertaruhkan cadangan terakhir kewarasanku untuk mencegahnya tenggelam. Aku berdiri di sisi jurang itu, meneriakkan namanya dengan sisa-sisa suara. Berusaha agar kata-kata tidak pecah menjadi tangisan dan melemparkanku ke dalam kamar gelap itu sekali...

Pohon Mangga Madu

Ini catatan lama yang naik kembali ke permukaan karena sesuatu sedang mengorek-orek nostalgia. Mengingatkan saya pada sebuah pohon yang ternyata tidak dibakar hangus dalam dada saya, bisa tumbuh lagi: 23 tahun yang lalu, saya lahir di sebuah kampung sahaja, di Surabaya Utara. Sebuah panti yatim jadi tanda gapuranya.  Kini kampung itu jadi gang buntu sebab sengketa lahan. Di bekas gapura dibangun pertokoan kecil menutup kampung itu dari kebesarannya di masa lalu. Sebesar ini, kalau saya kembali berkunjung ke sana, masih terasa seperti rumah meski saya tidak punya ingatan apa-apa tersimpan. Cuma sebab warganya tidak berubah. Yang menetap di rumah itu ya orang itu-itu juga. Sudah terlalu erat ikatan satu sama lainnya. Sudah terlalu penuh cinta. Mereka mengira saya adalah bayi lugu yang sama. Saya suka membayangkan kebenarannya. Meski sudah lama pindah, orang-orang di sana tidak pernah melepas keluarga saya. Bahkan tiap acara muludan, tahlilan, tujuh bulanan, selalu datang berkat...

H

Kenapa aku merasa hidupmu sedang sulit sekali, demi Ia yang memiliki kelapangan seluruh jagatraya, semoga tidak ada kemarahan dan kesedihanku yang akan sampai dan menjadi kerikil dalam hidupmu. Berjalanlah, berjalan. Angin akan mengeringkan telapak kakimu. Dan jejakmu, jejak kakimu, akan menjadi tipak bagi hujan untuk menampung dirinya. Akan menjelma telaga, dan orang-orang yang lelah akan membasuhkan hati dengan air telagamu. Berjalanlah, berjalan, Kekasihku. Jangan menoleh ke belakang. Jangan menunduk. Jangan mengalihkan pandanganmu dari dunia ini. Semoga kehidupan berpihak padamu. 2019

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...

Surat Sekarang

Barangkali kau menganggur dan mengunjungi kotak posku. Malam ini senegara merayakan sesuatu. Aku habiskan waktu bernyanyi, bernyanyi, bernyanyi sampai pagi. Aku tahu kau sedang membangun sebuah cita-cita, sebuah rencana, dan memperbaiki harimu. Menyusun jadwal baru untuk mengembalikan hatimu ke tempatnya. Ah, di mana tempatnya? Apakah ia pernah berpindah? Dan kau memutuskan untuk menuntaskan rencana itu sendiri. Seharusnya kau biarkan seseorang mendukungmu. Ikut menanggung mimpimu. Aku jadi merasa bersalah karena meninggalkanmu begitu. Menjelang subuh, seorang laki-laki menceritakan kegelisahannya tentang ruang teater. Ada kecemasan di matanya yang menahan mabuk. Aku lantas ingat kelakarmu waktu aku cemas dan merasa tidak bisa mengatasi duniaku, "ah, kamu 'kan belajar teater." Teater, Kekasihku, apa ia bisa mengukur kejujuran?  Siapa yang memahami kesepianmu, kalau aku tak ada? Kau melakukan terlalu banyak untuk orang lain tapi siapa yang kauijinkan melakukan sesuatu ...

Harta

Seberapa keras usaha seseorang melawan nostalgia? Melawan ingatan dan sejarah. Ada sebuah bagian, mungkin sebuah scene, dalam kepala saya kini sedang terancam. Seseorang sedang berusaha membakarhanguskannya. Saya tidak tahu kenapa seseorang bisa demikian kejam pada ingatan orang lain. Sesuatu yang bukan miliknya sendiri. "Saya ada di situ hari itu." Betapa penting kalimat itu ingin saya utarakan ke seluruh dunia. Bahwa saya tidak terlukai dengan mengakuinya meski saya tidak bisa mempertahankannya. Tidak apa-apa. Tidak semua hal bisa dijawab untuk apa, kata seorang penyair. Tidak ada yang dirugikan dalam ingatan ini, kecuali saya sendiri. Tapi toh saya bisa memilih, seandainya saya diberi kebebasan itu: untuk menyimpannya. Kenapa seseorang terganggu dengan harta orang lain? 2019

Bertemu 'U' Ganteng

Saya memanggil namanya dan dalam sebuah diskusi dengan rekan perempuan saya, kami menambahkan kata 'Ganteng' untuk mengenalinya. Bukan karena dia ganteng tapi sebab kami melihat dia memiliki sesuatu. "Kamu itu laki-laki potensial. Dunia tidak tahu, tapi kami tahu."kelakar kami dulu. Ternyata kami tidak saling bertemu selama dua tahun. Kemarin saya terjebak di kampus karena harus menunggu seorang penyair yang tidak bisa dipastikan datang-hilangnya. Sementara 'U' Ganteng, laki-laki yang dua tahun lebih muda dari saya itu muncul di kampus lagi setelah pulang dari pengembaraan, untuk menyelesaikan sesuatu. Pengembaraan, itu diksi yang pantas. Dia ceritakan sedikit kesibukan formalnya, usaha-usaha dan protesnya buat dunia. "Kamu lebih kurus. Lebih hitam. Tapi garis wajahmu itu, lebih tegas dibanding ingatan terakhirku," saya mengomentari figurnya sambil membatin: matamu itu, lebih matang. Lebih laki-laki. Dia tertawa lalu bertanya masakah saya p...

Epilog*

Sebagai alumnus kelas yang sama, menakjubkan rasanya menyaksikan mata kuliah ini bertahan hingga tahun 2019. Sungguh sebuah perjalanan panjang dan sulit.                             Hari ini orang-orang muda bangun dari tidur dan berjalan di Instagram. Memasuki kamar-kamar orang lain, kamar-kamar toko baju, kamar-kamar politik, kamar-kamar agama, di Instagram. Saya kira ada juga kamar-kamar puisi di situ, lebih sempit dari kontrakan murah. Kamar puisi dengan semangat yang belum bisa saya tafsiri. Ada. Ada. Di kamar yang sempit dan seret itulah para peserta kelas ini bergerak. Dengan segala macam motivasi. Sebagai sebuah tuntutan atau tidak, perlu usaha lebih untuk (akhirnya tetap) menulis di antara godaan simulakra yang mini dan manis ini.  Kenyataan bahwa beberapa puisi yang lahir dari kelas ini pantas diperjuangkan untuk mendapat leb...

Kekasih Semar

Kekasih    : Wahai, Semar, di lereng Maliawan itu, seekor kera tengah menangis. Air matanya turun, menggantikan kebeningan Gangga, hingga bunyi riaknya menjadi diam. Bolehkah aku mereguk dan meminumnya, Semar, apakah kesedihan bagi penghuni bumi yang membuat kesuburan tak mau bicara lagi? Semar       : Kesedihan, kebahagiaan, kemenangan, kemarahan, iri, putus asa, hanya bayang-bayang. Kekasih    : Dan kera itu melihat ketidaksempurnaan bayangannya, terpantul di permukaan air. Semar       : Maka ia sedang menghadapi ketidaksempurnaannya sendiri. Kekasih    : Tapi mengapa harus ada air mata? Tidakkah ia memahami ketidaksempurnaan adalah karunia yang dianugerahkan bagi kehidupan. Semar       : Ketidaksempurnaannya tidak menjelma kerinduan. Kekasih    : Tidakkah kerinduan juga bayang-bayang? Semar       : Kerinduan adalah pertapaan. Dunia putih di mana bulan...

Gelombang yang Tidak Kita Tahu

Sederhana saja: aku suka bicara denganmu. Sementara ini aku masih membayangkan bicara denganmu selamanya . Dalam perjalanan ke sebuah warung kopi aku bertemu seorang laki-laki tua yang bijak. Dia sopir yang mengantar kami, aku sedang bersama seorang teman, yang tanggal lahirnya sama denganmu itu. Bapak itu bicara dengan logat kulonan. Ia menyebut sebuah desa di lereng Lawu waktu aku bertanya dari mana asalnya. Ia mengaku baru saja menjadi sopir transportasi online begini. Ia berharap kami tidak mengajukan permintaan-permintaan yang rumit. Aku jadi penasaran. Kenapa dia memutuskan jadi sopir begini? Lalu ia bercerita panjang tentang anak-anaknya yang enam dan istrinya yang lama meninggal. Keenam anaknya sudah jadi orang. Aku makin penasaran. Kenapa dia tidak memilih tinggal bersama salah satu dari mereka? Ia jawab, "nanti mbak merasakan kalau sudah setua saya. Pilihan untuk menumpang pada anak itu tidak melulu solutif untuk menikmati hidup ini." Ia tidak benar-benar me...

Belum Shalat Ashar

Dua hari lalu seorang perempuan yang sama-samar saya kenal menodongkan pertanyaan mendadak, "Mbak pasti sudah mau menikah. Atau malah sudah menikah?" Ya, saya misuh, tentu saja, dalam hati. Tapi saya menimbang ada kemungkinan Nabi Khidir menjelma dalam kalimatnya itu. Kami tengah berbincang di depan mushola. Tempat pertama kami ketemu mungkin tepat lima tahun lalu. Saya balik bertanya apa dia mau menikah lantas terganjal urusan tugas akhir kuliahnya. Sebab hari-hari ini dia sedang mengejar waktu tambahan untuk mengajukan sidang. Dia diam. Beberapa lama, dia memutuskan untuk menjawab. "Ini aib," katanya memulai sebuah narasi panjang tentang anaknya yang lahir setahun lalu. "Dia bapaknya. Menikah dengan orang lain tepat setahun di tanggal ini - ah, perempuan tanggal pun dipersalahkan - Mbak pasti nggak nyangka, ya.." Dia ceritakan percakapannya dengan calon istri Kekasihnya. Perempuan yang -tentu saja- mengingini segalanya menjadi miliknya, seorang. ...

Hopla