Sebagai alumnus kelas yang sama,
menakjubkan rasanya menyaksikan mata kuliah ini bertahan hingga tahun 2019.
Sungguh sebuah perjalanan panjang dan sulit.
Hari ini
orang-orang muda bangun dari tidur dan berjalan di Instagram. Memasuki
kamar-kamar orang lain, kamar-kamar toko baju, kamar-kamar politik, kamar-kamar
agama, di Instagram. Saya kira ada juga kamar-kamar puisi di situ, lebih sempit
dari kontrakan murah. Kamar puisi dengan semangat yang belum bisa saya tafsiri.
Ada.
Ada. Di
kamar yang sempit dan seret itulah para peserta kelas ini bergerak. Dengan
segala macam motivasi. Sebagai sebuah tuntutan atau tidak, perlu usaha lebih
untuk (akhirnya tetap) menulis di antara godaan simulakra yang mini dan manis
ini.
Kenyataan bahwa
beberapa puisi yang lahir dari kelas ini pantas diperjuangkan untuk mendapat
lebih dari sekadar nilai semesteran. Saya mencatat beberapa puisi punya tawaran
bangun puitik yang menarik. Mulai dari judul yang segar, bentukan imaji yang
orisinal, sampai ruang perenungan yang unik. Sayangnya jumlah puisi yang saya
maksud tidak lebih sepuluh persen dari total puisi terkumpul.
Hal tersebut
merupakan pencapaian yang patut diapresiasi. Bahwa sampai tahun 2019 ini, tetap
ada beberapa orang yang berhasil menulis puisi di atas standar rata-rata
kelasnya. Orang-orang dengan gaya konsumsi sosial yang sama. Tampak beberapa
nama memiliki pengalaman menulis yang intens dari kerapian gagasan dan bentuk
puisinya. Barangkali, jangan-jangan, mereka berniat pula menjadi penyair serius
- ah, semoga Tuhan mengampuni mereka.
Sementara
Instagram lebih dekat dari urat nadi, yang diberikan kelas penulisan puisi
sesungguhnya adalah pengalaman menulis puisi. Sesuatu yang mewah meski tidak
muluk-muluk. Saya kira, pengalaman pernah menulis puisi mahal dan langka hari
ini. Entah itu pengalaman yang bisa dijual kembali atau tidak.
Barangkali
setelah kelas ini usai beberapa orang tidak akan menulis puisi lagi. Barangkali
setelah kelas ini usai beberapa orang akan menulis puisi selamanya.
*Tulisan ini adalah catatan penutup
kuratorial antologi puisi kelas penulisan kreatif di tempat saya kuliah dulu.
Catatan ini menjadi penting sebab menandai empat tahun perhatian yang agak
serius terhadap penulis dan pembaca muda di kampus yang sayangnya saya cintai
itu. Komentar yang sepertinya seru untuk dibagi ke lebih banyak kepala.
Nanda Alifya
Rahmah
Komentar
Posting Komentar