Langsung ke konten utama

Belum Shalat Ashar

Dua hari lalu seorang perempuan yang sama-samar saya kenal menodongkan pertanyaan mendadak, "Mbak pasti sudah mau menikah. Atau malah sudah menikah?"

Ya, saya misuh, tentu saja, dalam hati. Tapi saya menimbang ada kemungkinan Nabi Khidir menjelma dalam kalimatnya itu. Kami tengah berbincang di depan mushola. Tempat pertama kami ketemu mungkin tepat lima tahun lalu.

Saya balik bertanya apa dia mau menikah lantas terganjal urusan tugas akhir kuliahnya. Sebab hari-hari ini dia sedang mengejar waktu tambahan untuk mengajukan sidang. Dia diam. Beberapa lama, dia memutuskan untuk menjawab.

"Ini aib," katanya memulai sebuah narasi panjang tentang anaknya yang lahir setahun lalu. "Dia bapaknya. Menikah dengan orang lain tepat setahun di tanggal ini - ah, perempuan tanggal pun dipersalahkan - Mbak pasti nggak nyangka, ya.."

Dia ceritakan percakapannya dengan calon istri Kekasihnya. Perempuan yang -tentu saja- mengingini segalanya menjadi miliknya, seorang. Juga situasi, di mana dia merasa tidak punya cukup amunisi untuk memenangkan pertempuran. Lukanya belum sembuh, dia bilang baru saja dia bertemu laki-laki itu. Papasan. Baru saja.

Saya menelan ludah. Tapi tidak kentara di balik kerudung saya. Saya membatin, mungkin sampai punggung saya gemetar. Tapi tidak kentara di balik kerudung saya. 30 menit kami duduk di sana, saya melihat jam. Saya pamit padanya dan mengatakan, "percakapan kita belum selesai. Besok kita akan ketemu."

Mulanya saya berniat shalat ashar di situ lalu berangkat ke tempat lain. Tapi Tuhan menghendaki saya ke situ untuk bertemu seseorang. Kami berpisah karena saya belum shalat ashar.

Belum shalat ashar, seseorang pernah berkata begitu juga suatu hari. Di tempat jauh. Seperti hari itu juga, Tuhan berbunyi dalam detik jam. Menghitung matahari terbenam. Saya membayangkan Tuhan dalam ruang antara, ruang jarak, di tiap kalimat yang enggan kami putus. Kami mengulur-Nya -mungkin- agar matahari tertunda. Tapi Tuhan tetap berbunyi di situ. Kami tidak bisa pura-pura tidak mendengar-Nya.

2019







Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...