Kekasih : Wahai, Semar, di lereng Maliawan itu, seekor kera tengah menangis. Air matanya turun, menggantikan kebeningan Gangga, hingga bunyi riaknya menjadi diam. Bolehkah aku mereguk dan meminumnya, Semar, apakah kesedihan bagi penghuni bumi yang membuat kesuburan tak mau bicara lagi?
Semar : Kesedihan, kebahagiaan, kemenangan, kemarahan, iri, putus asa, hanya bayang-bayang.
Kekasih : Dan kera itu melihat ketidaksempurnaan bayangannya, terpantul di permukaan air.
Semar : Maka ia sedang menghadapi ketidaksempurnaannya sendiri.
Kekasih : Tapi mengapa harus ada air mata? Tidakkah ia memahami ketidaksempurnaan adalah karunia yang dianugerahkan bagi kehidupan.
Semar : Ketidaksempurnaannya tidak menjelma kerinduan.
Kekasih : Tidakkah kerinduan juga bayang-bayang?
Semar : Kerinduan adalah pertapaan. Dunia putih di mana bulan dan matahari bersatu, langit dan bumi bersatu, Timur dan Barat bersatu. kuning dan hitam bersatu, dan menjelma tiada. Kerinduan mempertemukan yang kanan dan yang kiri, yang benar dan yang salah, menjadi kelapangan. Jagatraya tempat Yang Paling Besar dan Yang Paling Kecil bisa berdiam.
Kekasih : Semar, di mana bayang-bayangmu?
Semar : Sudah takluk.
Kekasih : Maka kaulah kerinduan?
Semar : Bukan.
Kekasih : Atau kau bayang-bayang?
Semar : Aku hidup menghidupkan bayang-bayang.
Kekasih : Biar aku menjadi bayanganmu. Aku ingin hidup.
Semar : Tidak ada makhluk memilih bayang-bayangnya, atau bayang-bayang memilih makhluknya.
Kekasih : Semar, aku pincang.
Semar : Aku juga pincang.
Kekasih : Aku ingin kerinduan.
Semar : Aku juga menghidupkan kerinduan.
Kekasih : Kalau begitu aku akan berjalan di jagatraya mencari Yang Paling Besar dan Yang Paling Kecil.
Semar : Saat kau sampai, mungkin mereka sudah pergi.
Kekasih : Tidak masalah. Barangkali yang boleh dimiliki adalah perjalanan, yang melampaui pertemuan dan perpisahan.
2019
Komentar
Posting Komentar