Aku sedang bongkar-bongkar berkas foto. Teringat sepasang flamingo yang kupotret tahun lalu di kebun binatang. Dua burung merah muda tertidur di bawah matahari pagi, menyandarkan kepalanya ke belakang tubuh. Dua burung merah muda yang mirip satu sama lain, adakah mereka memandang mimpi yang lain dengan mata yang sama? Kalau aku bermimpi malam ini, aku ingin menatap mimpiku dengan matamu. Boleh malam ini aku pinjam matamu?
Hari-hari terakhir berjalan cepat dan menciptakan perubahan yang besar. Aku berencana menjalani beberapa waktu ini dengan logika penuh, tidak terjebak pusaran kegilaanku, tapi beberapa peristiwa mengantarku ke ujung jurang kegilaan orang lain. Seorang teman mengirimkan hasil diagnosa kejiwaannya. Sehari sebelumnya aku pertaruhkan cadangan terakhir kewarasanku untuk mencegahnya tenggelam. Aku berdiri di sisi jurang itu, meneriakkan namanya dengan sisa-sisa suara. Berusaha agar kata-kata tidak pecah menjadi tangisan dan melemparkanku ke dalam kamar gelap itu sekali lagi. Menutup pintu yang tidak punya lubang kunci. Kalau pintu itu tertutup lagi, bagaimana bisa terbuka kalau kau tak ada? Aku berjanji padamu, tidak akan hidup menyulitkan siapapun. Sebab sekali kau menyelamatkanku dan seperti kesempatan hidup yang baru kudapatkan, cintaku adalah amal jariyah.
Hal buruk lainnya berdiri menatapku di ujung lorong itu. Seorang teman yang lain secara tidak masuk akal bermain-main di sebuah labirin raksasa. Bayang-bayangnya seperti bayang-bayangmu. Aku tidak berteriak di situ. Tidak bisa memanggil namanya seperti aku tidak bisa memanggil namamu. Dan dia berputar-putar, seolah dalam putarannya aku tidak ikut berputar. Aku lelah sekali. Lelah sekali. Aku ingin tidur dan bangun di sebuah pagi.
Kenapa begitu? Kenapa orang-orang semena-mena berjalan di atas rel berpaku. Seolah kalau kaki mereka terluka aku tidak ikut berdarah. Kenapa begitu?
Dalam usaha penyelamatan diri ini, aku menjajal beberapa solusi. Aku sudah mencoba bicara pada orang asing, sekadar merilis rasa berat di hatiku sendiri. Aku sudah menolong orang lain untuk mendukung rasa syukurku. Aku ingat kita pernah bicara tentang arti berbagi, menjadi sebatang pohon rindang. Menyadari orang-orang lain yang butuh tempat bermalam. Seperti orang-orang dalam kisah Bulan Bujur Sangkar. Beberapa orang datang ke ruang tanpa pintuku, menawarkan tempat sunyi. Tapi tidak ada yang memotret jiwaku seperti kau memotret jiwaku. Pinjami aku matamu. Pinjami aku telingamu. Pinjami aku bibirmu. Aku lelah sekali berkata-kata. Aku ingin bicara dengan bahasamu, yang sederhana, yang tidak luput.
Seperti dua burung merah muda dalam sangkar itu. Bisu dan tenteram. Pagi yang akan menyambut mereka telah memberikan seluruh cahayanya di situ. Aku beruntung sempat memotretnya. Tapi adakah kata-kata dalam tidur mereka? Adakah mereka saling bertukar bibir dan telinga? Kalau aku bermimpi malam ini, aku ingin bicara denganmu. Mendengarkan kata-kataku dari bibirmu.
2019
Komentar
Posting Komentar