Langsung ke konten utama

Gelombang yang Tidak Kita Tahu

Sederhana saja: aku suka bicara denganmu. Sementara ini aku masih membayangkan bicara denganmu selamanya.

Dalam perjalanan ke sebuah warung kopi aku bertemu seorang laki-laki tua yang bijak. Dia sopir yang mengantar kami, aku sedang bersama seorang teman, yang tanggal lahirnya sama denganmu itu. Bapak itu bicara dengan logat kulonan. Ia menyebut sebuah desa di lereng Lawu waktu aku bertanya dari mana asalnya. Ia mengaku baru saja menjadi sopir transportasi online begini. Ia berharap kami tidak mengajukan permintaan-permintaan yang rumit.

Aku jadi penasaran. Kenapa dia memutuskan jadi sopir begini? Lalu ia bercerita panjang tentang anak-anaknya yang enam dan istrinya yang lama meninggal. Keenam anaknya sudah jadi orang.

Aku makin penasaran. Kenapa dia tidak memilih tinggal bersama salah satu dari mereka? Ia jawab, "nanti mbak merasakan kalau sudah setua saya. Pilihan untuk menumpang pada anak itu tidak melulu solutif untuk menikmati hidup ini."

Ia tidak benar-benar menjawab dengan kalimat begitu. Suaranya sederhana, jiwanya sederhana, tapi pemahamannya kaya. Ia meneruskan bercerita. Dalam beberapa waktu ini ia tinggal bersama seorang teman. Saat ia memutuskan menjadi sopir transportasi online, ia memutuskan tidak memiliki rumah tinggal.

"Saya cukup tidur di mobil. Tapi saya biasanya lebih sering tidur di warung-warung. Di toko-toko yang tutup," ia banyak mengulang kata 'cukup'.

Pilihan yang cukup. Dari ceritanya aku memahami Pak Tua ini telah seumur hidupnya menerima segala sesuatu, secukupnya. Keenam anaknya sarjana, dan masing-masing menawarkan diri untuk mencukupinya. Tapi sepertinya dia lebih suka mencukupi dirinya sendiri.

"Kenapa dulu Bapak nggak nikah lagi? Kan lama sekali?"

"Kalau mencari hidup yang sempurna, manusia ini tidak akan bisa. Tidak akan sama, bagaimanapun jadinya. Dulu saya cuma kuli, cari istri lagi butuh banyak waktu dan tenaga. Anak saya menyuruh saya menikah lagi biar di umur ini ada yang menemani dan mengurus saya. Tapi langsung saya marahi, seharusnya kamu berterima kasih, punya orang tua, sudah tua, tapi tidak merepotkan anak-anaknya."

Laki-laki luar biasa ya?

Ia menyebut soal hikmah tapi aku lupa. Cuma perenungannya masih tersisa di sini. Seorang laki-laki yang tidak menyesali apapun. Tidak mengutuk diri dan tidak kalah. Seorang manusia yang yakin dan mengakui seluruh dirinya.

Seorang ibu sedang meminta bantuanku untuk menyelesaikan tugas akhir penelitiannya. Seorang guru. Aku membantunya sebab aku ingin membantumu tapi tidak bisa. Semoga aku bisa membantunya dan Tuhan mengirim orang lain buat membantumu. Kebaikan itu seperti gelombang yang kita tidak tahu keluasannya akan menghantam apa, menggerakkan apa. Mungkin kebaikanku akan sampai padamu dengan sebuah cara. Biar Tuhan yang mengurusnya.

Kekasihku, panjang sekali lintasan rambat ini.

2019


Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...