Ini catatan lama yang naik kembali ke permukaan karena sesuatu sedang mengorek-orek nostalgia. Mengingatkan saya pada sebuah pohon yang ternyata tidak dibakar hangus dalam dada saya, bisa tumbuh lagi:
23 tahun yang lalu, saya lahir di sebuah kampung sahaja, di Surabaya Utara. Sebuah panti yatim jadi tanda gapuranya. Kini kampung itu jadi gang buntu sebab sengketa lahan. Di bekas gapura dibangun pertokoan kecil menutup kampung itu dari kebesarannya di masa lalu.
Sebesar ini, kalau saya kembali berkunjung ke sana, masih terasa seperti rumah meski saya tidak punya ingatan apa-apa tersimpan. Cuma sebab warganya tidak berubah. Yang menetap di rumah itu ya orang itu-itu juga. Sudah terlalu erat ikatan satu sama lainnya. Sudah terlalu penuh cinta. Mereka mengira saya adalah bayi lugu yang sama. Saya suka membayangkan kebenarannya.
Meski sudah lama pindah, orang-orang di sana tidak pernah melepas keluarga saya. Bahkan tiap acara muludan, tahlilan, tujuh bulanan, selalu datang berkatan diantar ke rumah. Saya sadar kami bukan sekadar tetangga. Jadi yang saya kunjungi tiap datang ke sana bukanlah rumah seperorang saja, tapi kampung itu. “Kampung kelahiranmu,” kata budhe-budhe yang tak punya silsilah itu. Nenek saya yang mencintai pasar, sering mengajak saya mampir habis belanja ini itu. Saya menurut saja, mengamati orang-orang asing yang selalu mengakrabi saya. Dan baru sebesar ini saya bisa memahami apa-apa yang terjadi. Kenapa dulu tiap diajak ke sana saya tak pernah terganggu atau tidak kerasan meski terus-menerus heran sebab tidak merasa mengalami apapun. Ternyata, ini cuma soal siapa yang menyimpan. Sebab cinta milik bersama, saya atau mereka yang mengingatnya jadi tidak penting lagi. Selama bisa berbagi dan tidak ada yang merasa rugi.
Di salah satu rumah, halamannya terbuka, sebuah pohon mangga tumbuh besar dan tua. Nenek sering berlama-lama duduk di rumah itu sebab sepertinya memang titik kumpul bersama. Kalau nenek sedang asik bicara, saya cuma duduk main-mainkan kaki ke tanah, di halaman tempat pohon mangga tumbuh. Menggambar bentuk-bentuk yang tidak jelas di bawah teduhan daun mangga yang melebar itu. Tingginya melebihi atap rumah. Di sela akarnya yang membesar muncul dari dalam tanah, selalu terkumpul daun-daun kuningnya yang jatuh. Kalau suatu kali ia berbuah, saya bawa pulang juga dua tiga untuk dimakan di rumah. Mangga Madu, paling suka yang baru matang separuh.
Anak-anak di kampung itu juga paling suka bermain di depan rumah berpohon mangga. Mungkin karena rumah itu satu-satunya yang berhalaman terbuka. Mungkin juga sebab si pohon mangga. Teduh melihatnya seperti memeluk seluruh rumah dengan penuh cinta: hangat dan mesra – cinta, memang seperti pohon, selalu bisa tumbuh lagi. Kami makan darinya, menikmati buah dan kerindangnya.
Sampai sekarang pohon itu masih ada di tempat. Tapi sudah tidak tumbuh. Tinggal batang besarnya yang tampak sekokoh dulu padahal gopong isinya. Setahun lalu batangnya disiram minyak tanah. Daunnya gugur hebat sampai habis sendiri. Ranting-rantingnya dirapikan tapi batang utamanya dibiarkan mengisi halaman. Sebab halaman itu memang tidak punya tanaman lain. Waktu saya tanya kenapa, jawabannya sebab ia terlalu tua. Kalau dibiarkan terus tumbuh, akarnya malah mengancam pondasi rumah. Buahnya sudah tidak semanis dulu. Tapi di kepala saya tidak bisa menghapus kata kenapa.
Saya bayangkan seandainya pohon itu tidak disiram minyak tanah, ia bisa tumbuh lagi. Sebuah pohon akan selalu bisa tumbuh lagi. Tapi menurut si empunya, pohon mangga itu memang lebih baik mati. Sebab tunas baru yang tumbuh dari pohon yang ditebang, adalah tumbuh dari akar yang sama. Ia terlalu tua, tidak manis lagi, mengancam pondasi rumah.
Saya jadi heran, kenapa batangnya dibiarkan? Kenapa tidak ditebang habis sekalian. Atau kenapa ia tidak dibiarkan tumbuh lagi.
Saya masih suka duduk di bangku semen di halaman itu, memandangi batang pohon mangga madu. Di sela-sela akarnya yang menyembul tidak ada lagi daun kering terkumpul. Anak-anak kecil baru masih menjadikan rumah itu tempat favorit buat bermain. Halaman yang bersih, sebatang pohon mangga yang tidak berdaun lagi, dan seorang gadis duduk sendiri, menggambar bentuk-bentuk yang tidak jelas di tanah. Siapa yang menghias siapa di situ? Budhe bilang, “ketuk saja batangnya, kamu bisa dengar suara kosong rongganya.” Tapi saya tidak berani. Saya bayangkan pohon itu bisa tumbuh lagi. Saya tidak mempertimbangkan rumah dan tidak menganalogikannya dengan cinta. Ia sebatang pohon, seharusnya boleh tumbuh lagi.
2017
Dua tahun semenjak ramalan itu.
2019
23 tahun yang lalu, saya lahir di sebuah kampung sahaja, di Surabaya Utara. Sebuah panti yatim jadi tanda gapuranya. Kini kampung itu jadi gang buntu sebab sengketa lahan. Di bekas gapura dibangun pertokoan kecil menutup kampung itu dari kebesarannya di masa lalu.
Sebesar ini, kalau saya kembali berkunjung ke sana, masih terasa seperti rumah meski saya tidak punya ingatan apa-apa tersimpan. Cuma sebab warganya tidak berubah. Yang menetap di rumah itu ya orang itu-itu juga. Sudah terlalu erat ikatan satu sama lainnya. Sudah terlalu penuh cinta. Mereka mengira saya adalah bayi lugu yang sama. Saya suka membayangkan kebenarannya.
Meski sudah lama pindah, orang-orang di sana tidak pernah melepas keluarga saya. Bahkan tiap acara muludan, tahlilan, tujuh bulanan, selalu datang berkatan diantar ke rumah. Saya sadar kami bukan sekadar tetangga. Jadi yang saya kunjungi tiap datang ke sana bukanlah rumah seperorang saja, tapi kampung itu. “Kampung kelahiranmu,” kata budhe-budhe yang tak punya silsilah itu. Nenek saya yang mencintai pasar, sering mengajak saya mampir habis belanja ini itu. Saya menurut saja, mengamati orang-orang asing yang selalu mengakrabi saya. Dan baru sebesar ini saya bisa memahami apa-apa yang terjadi. Kenapa dulu tiap diajak ke sana saya tak pernah terganggu atau tidak kerasan meski terus-menerus heran sebab tidak merasa mengalami apapun. Ternyata, ini cuma soal siapa yang menyimpan. Sebab cinta milik bersama, saya atau mereka yang mengingatnya jadi tidak penting lagi. Selama bisa berbagi dan tidak ada yang merasa rugi.
Di salah satu rumah, halamannya terbuka, sebuah pohon mangga tumbuh besar dan tua. Nenek sering berlama-lama duduk di rumah itu sebab sepertinya memang titik kumpul bersama. Kalau nenek sedang asik bicara, saya cuma duduk main-mainkan kaki ke tanah, di halaman tempat pohon mangga tumbuh. Menggambar bentuk-bentuk yang tidak jelas di bawah teduhan daun mangga yang melebar itu. Tingginya melebihi atap rumah. Di sela akarnya yang membesar muncul dari dalam tanah, selalu terkumpul daun-daun kuningnya yang jatuh. Kalau suatu kali ia berbuah, saya bawa pulang juga dua tiga untuk dimakan di rumah. Mangga Madu, paling suka yang baru matang separuh.
Anak-anak di kampung itu juga paling suka bermain di depan rumah berpohon mangga. Mungkin karena rumah itu satu-satunya yang berhalaman terbuka. Mungkin juga sebab si pohon mangga. Teduh melihatnya seperti memeluk seluruh rumah dengan penuh cinta: hangat dan mesra – cinta, memang seperti pohon, selalu bisa tumbuh lagi. Kami makan darinya, menikmati buah dan kerindangnya.
Sampai sekarang pohon itu masih ada di tempat. Tapi sudah tidak tumbuh. Tinggal batang besarnya yang tampak sekokoh dulu padahal gopong isinya. Setahun lalu batangnya disiram minyak tanah. Daunnya gugur hebat sampai habis sendiri. Ranting-rantingnya dirapikan tapi batang utamanya dibiarkan mengisi halaman. Sebab halaman itu memang tidak punya tanaman lain. Waktu saya tanya kenapa, jawabannya sebab ia terlalu tua. Kalau dibiarkan terus tumbuh, akarnya malah mengancam pondasi rumah. Buahnya sudah tidak semanis dulu. Tapi di kepala saya tidak bisa menghapus kata kenapa.
Saya bayangkan seandainya pohon itu tidak disiram minyak tanah, ia bisa tumbuh lagi. Sebuah pohon akan selalu bisa tumbuh lagi. Tapi menurut si empunya, pohon mangga itu memang lebih baik mati. Sebab tunas baru yang tumbuh dari pohon yang ditebang, adalah tumbuh dari akar yang sama. Ia terlalu tua, tidak manis lagi, mengancam pondasi rumah.
Saya jadi heran, kenapa batangnya dibiarkan? Kenapa tidak ditebang habis sekalian. Atau kenapa ia tidak dibiarkan tumbuh lagi.
Saya masih suka duduk di bangku semen di halaman itu, memandangi batang pohon mangga madu. Di sela-sela akarnya yang menyembul tidak ada lagi daun kering terkumpul. Anak-anak kecil baru masih menjadikan rumah itu tempat favorit buat bermain. Halaman yang bersih, sebatang pohon mangga yang tidak berdaun lagi, dan seorang gadis duduk sendiri, menggambar bentuk-bentuk yang tidak jelas di tanah. Siapa yang menghias siapa di situ? Budhe bilang, “ketuk saja batangnya, kamu bisa dengar suara kosong rongganya.” Tapi saya tidak berani. Saya bayangkan pohon itu bisa tumbuh lagi. Saya tidak mempertimbangkan rumah dan tidak menganalogikannya dengan cinta. Ia sebatang pohon, seharusnya boleh tumbuh lagi.
2017
Dua tahun semenjak ramalan itu.
2019
Komentar
Posting Komentar