Langsung ke konten utama

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini.


Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019


Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri.

Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu.

Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini mungkin lebih tepat ditarik dari film-film psikologis yang muncul lebih dulu seperti A Beautiful Mind (2001), Inception (2010), atau novel 24 Wajah Billy karya Daniel Keyes.

Saat membaca "Elliot", kita akan menemukan banyak poin yang harus ditimbang dalam usaha pembacaan dan kritik. Ruang psikologis yang bertumpuk, tokoh-tokoh imajiner, logika setting dan dialog, fakta tentang penyakit jiwa, wacana kelas, sosok penyihir, bualan-bualan fantasi, konsep perempuan dan hubungan ibu-anak yang suram.

Konsep perempuan dan kegilaan mungkin dua wacana yang paling besar dalam naskah ini. Seolah ia adalah bentuk lain pernyataan betapa dekat perempuan dan kegilaan. Dari enam tokohnya, empat tokoh adalah perempuan: Emma, Ibu, Mama, Elliot. Saya kira Elliot adalah nama laki-laki, namun dalam naskah itu disebutkan Elliot adalah gaun masa kecil Emma yang 'hidup' menyerupai diri Emma. Emma dan Elliot, sosok dan bayangan yang menguasai sosok. Ada ruang-ruang parsial pada tiap tokoh perempuan itu. Bahkan Ibu, satu-satunya tokoh perempuan yang paling waras di situ. Nyatanya Ibu hadir dengan ruang pengampunan dan penerimaan yang aneh atas kegilaan Emma. Pengampunan dan penerimaan yang akan sulit dijangkau oleh perempuan-perempuan yang sepenuhnya sehat seperti kita ini. (Eh!)

Sebagai perempuan saya sepakat dengan naskah ini. Betapa dekat perempuan dan kegilaan. Seorang penyair pernah berkomentar, "Perempuan dalam kostum apapun selalu punya sesuatu yang ditutupi." Kapan, di mana seorang perempuan benar-benar jujur? Saya saja belum pernah. Ada garis antara kejujuran dan kegilaan dalam situasi ini seandainya kita memposisikan kejujuran seorang perempuan sebagai tanggung jawab psikologis dan sosial akan tubuh, pikiran, perasaan, dan bahasa yang diproduksinya di hadapan orang lain dibanding di hadapan dirinya sendiri.

Kehadiran sosok Kekasih sebagai pengisi dunia cinta dan fantasi Emma memantik saya mengenali lagi apa makna laki-laki bagi perempuan yang berada di ruang eksistensi yang terancam dan tersudut itu. Apakah laki-laki adalah ruang pelarian dari kekalahan, kelemahan, pembelaan, pembenaran dari kegagalan yang tidak bisa perempuan tangguhkan? Kenapa Emma butuh Kekasih sementara ia punya Elliot untuk kesepian dan kesedihannya? Kenyataan bahwa ruang cinta adalah ruang fantasi dalam naskah ini seharusnya merupakan sebentuk kritik untuk jawaban dari pertanyaan saya. Dan sebelum itu dijawab, kita harus lebih dulu sepakat bahwa cinta dan fantasi memang berada dalam satu gerbong lokomotif yang melaju di atas trayek kritik itu.

Saya tidak sedang bicara apakah cinta itu ada atau tidak. Dalam konteks Emma, saya diingatkan pada kisah Cinderella dan kenyataan bahwa tiap perempuan mendambakan diri berbahagia seperti Cinderella. Keinginan yang tentu saja makin membelit di jagat simulakra begini. Pada naskah itu Emma menabrakkan sosok Kekasih dengan sosok Mama yang memiliki kejaran berbeda akan konsep cinta, pernikahan, dan potensi keperempuanan. Kekasih dan Mama, dua jurang dalam kepala Emma. Mungkin di titik itu sosok Elliot sebagai diri Emma yang lain adalah usaha penyelamatan agar Emma tidak tersedot dalam jurang Kekasih atau jurang Mama. Namun ada momen di mana Emma juga menunjukkan ketidaksepakatannya dengan Elliot. Seandainya boleh kita sebut bahwa Elliot adalah diri Emma yang murni, maka sepertinya ada kabut lain yang Emma ciptakan sehingga dia terpisah dari Elliot. Kabut pengingkaran. Kabut ketidakjujuran.

Bagi para perempuan, labirin Emma seharusnya menjadi autokritik untuk membaca hasrat sendiri. Perempuan adalah target pasar yang besar dalam ruang konsumsi. Hari itu, misalnya, Emma bertanya pada Kekasih, "Apakah aku masih cantik?" Kekasih menjawab, "Tentu saja, kau cantik, Emma. Sebuah berkat." Tidakkah hari ini cinta dan kecantikan adalah komoditas?

Ada kecemasan dalam diri Emma memaknai kecantikan bagi dirinya. Di sebuah pintu ia ingin cantik, ia ingin tahu dirinya cantik. Tapi di balik pintu itu berdiri Mama. Mama yang akan mengiris kecantikannya sebagai sajian di malam pesta. Tiap perempuan akan selalu dihadapkan dengan kecemasan serupa. Bagaimanakah kecantikan, kenapa aku harus cantik, untuk apa, untuk siapa? Seandainya seorang perempuan berpikir bahwa dirinya tidak harus cantik, ia toh masih perlu menjawab, kenapa tidak mau cantik? Apa yang salah dengan kecantikan? Seberapa murni hasrat-hasrat yang kita daftar dalam kepala lahir dan tumbuh tanpa melukai orang lain. Kalau toh seorang perempuan, Emma misalnya, ingin cantik untuk Kekasihnya, apa masalahnya? Adakah pembaca yang diam-diam menyalahkan Emma padahal Emma tidak melukaimu?

Kabut hasrat dalam diri perempuan itu paling banyak dimanipulasi dan menjadi alat untuk saling menyakiti. Bahwa cinta hari ini adalah komoditas, misalnya. Seorang perempuan bisa dengan sengaja menjadikan kekasihnya sebagai alat untuk memenangkan dirinya sendiri di hadapan seluruh perempuan di dunia. Seolah seluruh perempuan di dunia adalah musuh yang harus diunggulinya. Apakah kekasihmu adalah pembelaan dari kelemahanmu?

Sosok Mama sebagai perempuan dalam naskah ini juga menjadikan Emma, anaknya, sebagai komoditas untuk memenangkan dirinya sendiri. Mama mengendalikan Emma dengan target-target yang gagal ia capai dengan tangannya. Bukan salah Emma kalau ia muda dan cantik sehingga ia harus mengusahakan diri untuk memikat seorang laki-laki dan menaikkan kelas sosial mereka padahal ia tidak menghendaki hal itu. Mama, kenapa tidak kau lakukan dengan tanganmu sendiri, memperbaiki posisimu di hadapan komune? Apakah anak adalah keledai untuk memikul mimpi-mimpi yang tidak sanggup diwujudkan orang tuanya? Kenapa ia tidak menjadi elang yang bebas membidik tikusnya sendiri?

"Jangan, Mama!" Emma berteriak lantang di sebuah adegan. Saya melihat usaha Emma untuk keluar dari labirin yang diciptakannya. Mungkin di kamar itu, dinding-dinding terlalu rapat, jendela tidak cukup luas menampung cahaya matahari. Seperti dunia kita hari ini, menghimpit perempuan makin tenggelam dalam kabut hasratnya sendiri. Dunia dan orang lain memegang hirarki kuasa utama di mana perempuan justru dengan sukarela menjadikan dirinya korban dalam praktik penjajahan itu. Bahkan perempuan memperbudak dirinya sendiri di tempat-tempat yang paling privat. Tidak merdeka sejak dalam hati.

Seorang laki-laki menyebut, "Kemerdekaan adalah penemuan pada batas. Ketika batas sudah jelas, di situlah kemerdekaan." Perempuan sulit mengakui batas secara terbuka mungkin itu yang membuat perempuan lebih sulit untuk merdeka. Dan kegilaan seperti siluman di situ, menyamar, seperti para penyihir di balik dinding kamar itu!



2019



PS: Naskah "Elliot" dicetak dan dibagi gratis dalam acara Majelis Sastra Urban 28 Agustus 2019 di Galeri DKS.
Akses bebas berkas naskah pada link berikut
https://drive.google.com/file/d/109uKE18ckTaigEFb78n-xP30nn3W8K4s/view?usp=drivesdk






Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...