Langsung ke konten utama

Bertemu 'U' Ganteng

Saya memanggil namanya dan dalam sebuah diskusi dengan rekan perempuan saya, kami menambahkan kata 'Ganteng' untuk mengenalinya. Bukan karena dia ganteng tapi sebab kami melihat dia memiliki sesuatu.

"Kamu itu laki-laki potensial. Dunia tidak tahu, tapi kami tahu."kelakar kami dulu.

Ternyata kami tidak saling bertemu selama dua tahun. Kemarin saya terjebak di kampus karena harus menunggu seorang penyair yang tidak bisa dipastikan datang-hilangnya. Sementara 'U' Ganteng, laki-laki yang dua tahun lebih muda dari saya itu muncul di kampus lagi setelah pulang dari pengembaraan, untuk menyelesaikan sesuatu.

Pengembaraan, itu diksi yang pantas. Dia ceritakan sedikit kesibukan formalnya, usaha-usaha dan protesnya buat dunia.

"Kamu lebih kurus. Lebih hitam. Tapi garis wajahmu itu, lebih tegas dibanding ingatan terakhirku," saya mengomentari figurnya sambil membatin: matamu itu, lebih matang. Lebih laki-laki.

Dia tertawa lalu bertanya masakah saya punya kemampuan melihat hal-hal begitu. Dia mengernyit, lalu tertawa lagi. Saya jawab entah, tapi wajahmu begitu.

Dia lantas mengubah posisi duduknya sambil berkata dengan yakin, "mungkin benar juga, karena dalam waktu belakangan ini aku sudah berdamai dengan yang namanya 'kehilangan'." - duh, Gusti, ingin saya hentikan obrolan kami tapi dia kadung mengucap, "jadi gini, Mbak, emang perempuan itu nggateli..." (Sial!)

Berceritalah dia tentang perempuan yang digila-gilainya sejak SMA dan membuatnya mampu berkendara sepeda dari Pasuruan ke Surabaya dalam rangka membuktikan cinta. 'Membuktikan cinta' itu istilahnya yang dia munculkan sendiri. Dia mengucapkannya sambil menahan mual dan geli.

"Aku bilang pada perempuan itu, 'tidak ada hal logis dalam situasi begini', dan kami bertengkar, dia meninggalkanku di luar."

Setelah beberapa tahun dia akhirnya keluar dari situasi berlarat-larat itu, bertemu perempuan baru, mencatat cerita baru. Tapi di awal Syawal kemarin perempuan itu meneleponnya, bilang ingin ditemani.

"Duniaku mendadak jungkir balik!" Dia bilang dia harus temui perempuan itu, menghadapinya sebagai masa lalu.

Saya cuma manggut-manggut.

"Aku sudah prediksikan apa-apa yang hendak dia sampaikan. Basa-basi, tanya kabar, pujian, dan terakhir, janji-janji manis." Dia gemas sebab tidak bisa bersikap galak di hadapan perempuan itu. Dia bilang ingin marah. Ingin misuh. Tapi yang meluncur dari mulutnya adalah pernyataan-pernyataan bijak yang dingin. Selebihnya kangen.

Sungguh berbahaya.

"Kami tiba-tiba sudah bicara 4 jam untuk hal tidak penting begitu. Dan sampai hari ini pertemuan itu menggangguku."

Ya, ya. Waktu bisa demikian palsu.

Saya memujinya dalam hati atas komentar-komentar yang dia sampaikan tentang situasinya itu. Bahwa dia punya ruang keberanian dan pengampunan yang luar biasa untuk mengakui dan 'memegang' kenyataannya. Saya sempat bilang padanya realita itu ada dan wujud. Perempuan cenderung lebih sulit untuk mau menghadapi dan menyentuhnya sebab mereka berkabut. Ada hasrat-hasrat yang perempuan manipulasi untuk memenangkan dirinya sendiri. Menyalahkan dunia atas kelemahan dan kesialannya sendiri.

Saya tidak perlu bilang padanya bahwa saya pengecualian dalam kasus itu. Dia kenal saya.

"Sepertinya aku kangen padamu, Mbak."

Ya, ya, tentu saja. Dia memang lebih laki-laki sekarang.

"Sepertinya aku tidak salah waktu dulu pernah bilang padamu kamu itu laki-laki potensial."

Dia berdiri hendak pulang waktu saya bilang begitu. Dia misuh keras sekali. Misuh yang masuk akal dan laki-laki.

Saya ingat di awal obrolan dia sempat mengulang kalimat yang sudah pernah saya dengar dari laki-laki lain. Sebuah nasihat bersayap:

"Seorang laki-laki hanya punya dua kemungkinan: kalau bukan bangsat, dia pasti homo."

Saya otomatis tertawa. Entah kenapa para laki-laki ini berani jujur begitu di depan saya.

2019

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...