Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2018

Ulang Tahun

Bagi saya Surabaya adalah seekor raksasa duduk bersila di Utara Jawa, memandangi kita yang jalan-jalan di pangkuannya. Saya sering mendongak ke langit, saling memandang dengan matanya. Kalau saya sedih, saya jalan agak tinggi mendekati dadanya, bunyi jantung Surabaya seperti angin. Seperti angin. Mendengarnya, air mata saya mengering. Selamat ulang tahun. Jangan sakit, jangan patah hati seperti aku. Jangan seperti aku. - 725 Surabaya - 2018

Eksil

H+1 Monolog "Tjoet Nja' Dhien" Ine Febriyanti di Surabaya Eksil. Kata 'eksil' dalam KBBI yang minim itu disetarakan dengan 'keluar'; 'terpinggirkan'. Umum sekali. Pendefinisian tersebut seolah menepikan ruang historis akan identitas dan keberadaan yang dilukai, di mana kata 'eksil' digunakan untuk menandai pembuangan seseorang dari komunal, rumah, tanah-airnya, khususnya pada era kolonial. Saya menyusur, dalam KBBI yang minim itu, kata 'eksil' memiliki satu bentukan morfologis saja, 'dieksilkan'. Ia pasif. Subjek-subjek yang ditandainya nirkuasa. Orang-orang buangan adalah orang-orang yang dilucuti, secara batin dan lahir. Cut Nyak Dhien (Tjoet Nja' Dhien) saya kenal dari uang kertas Rp. 10.000 pada era reformasi. Pelajaran sejarah di sekolah dasar hanya memberi informasi samar: Cut Nyak Dhien, ia prajurit perempuan, dari Aceh, seorang pahlawan. Tidak ada ingatan soal 'eksil' yang berarti. Tidak ada makna ...

Bulir Lampu

Tiga tahun lalu, seorang teman memberi saya lampu buliran. Manusia Indonesia kekinian menyebutnya dengan lampu tumblr. Waktu itu lampu tersebut belum tenar dan genit seperti sekarang. Dasar manusia Indonesia, selalu tertinggal di belakang saya. Kemarin saat dirty camping bersama teman perempuan saya, saya bawa lampu tersebut sebagai pernik dekorasi. Dalam sebuah putaran truth or dare , seorang teman terdesak untuk mengambil pilihan dare menghitung jumlah bulir lampu dengan tepat. Si teman yang punya disleksia ini tergertak oleh ancaman saya, "aku tahu pasti jumlah bulirnya." Saya tahu di kepalanya sudah ada seribu ancang-ancang untuk memanipulasi jawaban. Setelah tiga kali kembali ke start, dia menyerah dan memohon untuk menganulir pilihan truth buatnya. Dia lalu menjawab pertanyaan yang tadi diajukan. Saya belum bilang padanya, bahwa saya sama sekali tidak tahu jumlah buliran lampu itu. Saya bilang kemarin, penjualnya yang memberitahuku. Tapi tidak ada penjual. Lam...

Plaza yang Telah Jadi Abu

maka  kubiarkan  kesedihan  melangkah,  mendekati  segalanya,  pohonpohon  diam,  toko-toko  terbuka,  di  jantungku  suara-suara  pekerja  yang kalah,  memantuli  tembok  demi  tembok  kotamu,  jam-jam  sibuk kotamu   ingatan  nama  jalan  menghantui  pelukan,  orang-orang  mengejar kecemasan,  di  tepian,  di  sebuah  persimpangan  api  memercik,  seorang pengrajin  besi  yang  teliti  menambal  hatinya  sendiri  ke  sebuah  pintu, putih,  separo  jadi  –rumah  orang  lain,  di  bibirnya  peluh  mengendap  jadi kata-kata, menghitam   seperti  sebuah  nama,  ingatan  adalah  roda  yang  berjalan,  sendiri,  di lengang  jalan  kota  ini,...

Bulu Tangkis

Sekarang saya masih anak-anak. Dulu waktu lebih anak-anak dari ini saya mengisi hari-hari Ramadan dengan bermain bulu tangkis. Motorik saya cenderung lamban dibanding laju otak yang naudzubillah tidak warasnya ini. Tapi saya suka main bulu tangkis. Sebab rekan bermain saya menyenangkan, dia menyukai bulu tangkis. Karena tinggal di kampung kami tidak punya lapangan. Kok yang kami pakai sering nyangsang di atap rumah. Saya doyan manjat kalau lolos pengawasan tapi saya sangat menjaga sopan santun. Jadi biasanya kami membiarkan kok yang nyangsang itu bertumpuk-tumpuk dulu baru seorang dari kami naik ke atap. Sekarang rekan main saya itu sudah entah di mana. Dan bertahun-tahun saya sudah memutuskan berhenti main bulu tangkis dan sepak bola karena ingatan dan halusinasi yang mengancam. (Duh. Saya memang nggak waras) Malam ini saya jadi teringat pada rekan itu, dan kok yang bertumpuk-tumpuk di atap rumah karena perenungan random. Saya sedang memikirkan apa-apa yang pernah, dan apa-apa y...

Belum Pulang

Semoga Tuhan segera memperbaiki segalanya, membersihkan ledakan dari tajuk-tajuk berita cepat saji, garis waktu di Facebook dan Twitter, bisik-bisik orang di warung makan, yang meski berusaha tidak saya dengarkan tapi tetap mengantar kata-kata kunci yang tertanam rapi di alam bawah sadar saya, juga kabar diam-diam seperti arus listrik bawah tanah dari teman-teman, bahwa sebuah rumah terancam, seseorang ditembak mati di tempat sebab berusaha menembak mati orang lain.  Rasanya saya belum juga pulang. Tiap satu jam saya terbangun karena mimpi bom. Alay. Ketika tidur dan ketika tidak tidur. Seseorang meredam ketakjuban saya yang ngeri itu, bahwa -secara aneh- kata-katanya sungguh berarti bagi kesadaran saya selama lima hari paling buruk di Surabaya. Tapi saya belum tidur nyenyak, selama lima hari itu. Saya merasa bersalah. Saya bilang saya dalam keadaan baik, tapi mungkin maksud saya adalah saya ingin berada dalam keadaan yang baik.  Tapi saya serius menahan diri untuk tidak meled...

Menjelaskan

Di antara itu adalah tanda-tanda. Seumur hidup saya melihat Tuhan bekerja tapi tangan-Nya gaib dalam pandangan saya. Kalau saya buka lebar-lebar telinga saya, kadang saya takut mendengar kalimat-Nya. Adakah Ia mengatakan ketakutan saya sendiri? Saya sangat takut patah hati. Tapi seringnya saya tampil dalam penilaian sebagai perempuan yang punya segalanya. Saya ingin menjelaskan bahwa saya ini itu anu, Duh, Gusti. Saya pilih diam saja. Pilih diam.

Kangen

Saya tidak punya penjelasan kenapa kesadaran saya merespon peristiwa dengan kejutan-kejutan khusus. Tadi pagi saya bangun dari tidur yang sama sekali tidak nyenyak dan didera kebingungan hebat. Beberapa kesedihan biasanya memaku saya di ranjang, tapi tidak pernah membuntu kepala saya sedemikian padat. Dunia saya menyempit sebatas dinding kamar dan saya begitu berjarak dengan yang ada di baliknya. Saya tidak pernah kebingungan dalam hidup saya.  Ada hal-hal tidak terduga, menyebabkan kita shock dan stress. Tapi saya begitu geli akan kebingungan yang menjangkit kepala saya pagi tadi. Saya harus berhadapan dengan sesuatu: seseorang, lampu merah, apapun, kota ini. Jadi saya bergegas mandi, kehabisan ide untuk dandan, saya tidak tahan melihat wajah saya di cermin. Saya memberanikan diri berkendara ke tengah kota. Jalan-jalan itu, saya mencoba mengenali rasa yang biasanya. Di pusat penjual bunga, toko langganan saya tutup, saya jadi berbelok ke lorong-lorong baru. Saya berhenti di toko p...

Kakek Menggambar di Balik Pintu

Catatan setelah bom Surabaya Dari sebuah event teater minggu lalu, saya memperoleh informasi propaganda Jepang selama tiga setengah tahun menjajah Indonesia. Di antara segala kejahatan yang tercatat, ada yang luput dibicarakan selama ini yaitu, bahwa Jepang mengajarkan orang-orang pribumi keseriusan dalam berseni, khususnya seni rupa. Selama tahun-tahun paling sulit dan sengsara, Jepang menghimpun orang-orang kita untuk diajarkan menggambar dan bicara lewat hubungan garis-garis dan warna. Saat melihat bentuk figur karakter gambar kala itu saya seketika mengenali gaya menggambar kakek saya. Beliau seorang tentara angkatan laut, pernah bergabung dalam pasukan elit kapal selam. Saya mengenali figur-figur dan aktivitas keseharian yang diceritakan itu, kepalan tangan dan lekuk wajah yang keras. Wajah pekerja pribumi, yang dipaksa disiplin dan teguh untuk membangun negerinya sendiri. Saya terpikir, mungkin dulu kita memang harus dipaksa sekeji dan sesengsara itu, demi jalur-jalur kere...

Peluit Terakhir

Surabaya lagi.  Siang tadi saya terbangun di kamar sendiri. Kamar yang biasa. Setelah tujuh hari ruang dan waktu seperti keluar dari tubuh saya. Sebab Surabaya tak ada?  Sebagai manusia yang dibentuk seutuhnya di kota ini, Surabaya memang penting sekali. Tapi ada hal-hal panjang yang rumit untuk dinarasikan sehingga saya begitu ingin setulusnya meninggalkan kota ini. Seorang penyair pernah bertanya, "kota mana yang kamu suka, selain Surabaya?" Saya tidak percaya bahwa saya mengatasi ancaman menjadi gila dan datang ke sana - orang bilang, siapa suruh datang - sebuah kota . Sehari sebelum jadwal keberangkatan saya, saya seperti mendapat momen ilham. Di ujung Barat jalan Kenjeran, saya berkendara menghadap matahari terbenam. Hari yang baik, saya merasa Surabaya berbisik menyampaikan salam pelepasan. Saya jawab isyaratnya dengan penuh keyakinan: sungguh saya harus pergi, sebab saya ingin memandangmu dari jauh, lebih mesra lagi seperti sepasang mata jendela menatap sehampar taman ...

Chunky Bar dan Seorang Malaikat

Saya pamrih juga ternyata. Pernah saya ceritakan soal janji Chunky Bar yang diucapkan ibu saya, empat tahun lalu (via almarhum tumblr yang berharga). Saya ulang singkat: sebab saya adalah putri sulung baik hati dan kaya raya, saya memenuhi rajukan ibu saya untuk membelikannya Chunky Bar seberat 1 kg. Karena drama di sana sini ibu saya mewek dan mengutuk saya dengan mantra paling manis di dunia: semoga Tuhan membalasmu dengan kebahagiaan yang sama, sebagaimana kamu memberiku kado yang aku tunggu-tunggu. Nah, kira-kira begitu, romantisme adalah masa lalu. Saya jadi tersugesti oleh kutukan itu. Setiap ulang tahun saya menunggu-nunggu kalau Tuhan memberi saya kejutan mahawow. Tahun pertama, tahun kedua, tahun ketiga, halah, ya sudah tentu saya putus asa. Lalu, di gerbang tahun ini saya dikejutkan oleh sebuah keinginan di luar prediksi. Angin mimpi saya berbelok karena sebuah pertemuan-mahaaneh-tidak-akan-saya-bahas-di-sini. Saya mendadak paranoid berbulan-bulan. Semacam kesirep, satu-satun...

Hopla