Sekarang saya masih anak-anak. Dulu waktu lebih anak-anak dari ini saya mengisi hari-hari Ramadan dengan bermain bulu tangkis. Motorik saya cenderung lamban dibanding laju otak yang naudzubillah tidak warasnya ini. Tapi saya suka main bulu tangkis. Sebab rekan bermain saya menyenangkan, dia menyukai bulu tangkis.
Karena tinggal di kampung kami tidak punya lapangan. Kok yang kami pakai sering nyangsang di atap rumah. Saya doyan manjat kalau lolos pengawasan tapi saya sangat menjaga sopan santun. Jadi biasanya kami membiarkan kok yang nyangsang itu bertumpuk-tumpuk dulu baru seorang dari kami naik ke atap.
Sekarang rekan main saya itu sudah entah di mana. Dan bertahun-tahun saya sudah memutuskan berhenti main bulu tangkis dan sepak bola karena ingatan dan halusinasi yang mengancam. (Duh. Saya memang nggak waras)
Malam ini saya jadi teringat pada rekan itu, dan kok yang bertumpuk-tumpuk di atap rumah karena perenungan random. Saya sedang memikirkan apa-apa yang pernah, dan apa-apa yang bertumpuk-tumpuk. Manis sekali dulu saya punya teman bermain di malam-malam menjelang sahur, saya punya sesuatu yang dibiarkan bertumpuk-tumpuk untuk dipanen.
Berapa jumlahnya, hal-hal yang saya tumpuk sampai hari ini: koleksi batik parang, buku-buku, pengetahuan dan ketidaktahuan, puisi, hubungan-hubungan. Ke mana orang-orang yang pernah saya tulis dan menulis saya? Ke mana orang-orang yang pernah menulismu dan kautulis dalam puisimu?
Suatu hari saya akan sangat cemburu pada masa lalu. Bahwa saya pernah begini begitu, jatuh cinta pada ini dan itu, sini dan situ - eits! Bahwa cerita romantisme bertumpuk-tumpuk seperti kok di atap kepala saya. Di atap kepalamu juga. Tapi ya itu, bahwa mereka harus jadi permainan bulu tangkis. Kita yang bermain, bukan kok atau raketnya, meski saya akhirnya benar-benar cemburu dan merasa harus memanen sesuatu. Duh, saya cemburu memikirkan kok yang bertumpuk-tumpuk di atap kepalamu.
Karena tinggal di kampung kami tidak punya lapangan. Kok yang kami pakai sering nyangsang di atap rumah. Saya doyan manjat kalau lolos pengawasan tapi saya sangat menjaga sopan santun. Jadi biasanya kami membiarkan kok yang nyangsang itu bertumpuk-tumpuk dulu baru seorang dari kami naik ke atap.
Sekarang rekan main saya itu sudah entah di mana. Dan bertahun-tahun saya sudah memutuskan berhenti main bulu tangkis dan sepak bola karena ingatan dan halusinasi yang mengancam. (Duh. Saya memang nggak waras)
Malam ini saya jadi teringat pada rekan itu, dan kok yang bertumpuk-tumpuk di atap rumah karena perenungan random. Saya sedang memikirkan apa-apa yang pernah, dan apa-apa yang bertumpuk-tumpuk. Manis sekali dulu saya punya teman bermain di malam-malam menjelang sahur, saya punya sesuatu yang dibiarkan bertumpuk-tumpuk untuk dipanen.
Berapa jumlahnya, hal-hal yang saya tumpuk sampai hari ini: koleksi batik parang, buku-buku, pengetahuan dan ketidaktahuan, puisi, hubungan-hubungan. Ke mana orang-orang yang pernah saya tulis dan menulis saya? Ke mana orang-orang yang pernah menulismu dan kautulis dalam puisimu?
Suatu hari saya akan sangat cemburu pada masa lalu. Bahwa saya pernah begini begitu, jatuh cinta pada ini dan itu, sini dan situ - eits! Bahwa cerita romantisme bertumpuk-tumpuk seperti kok di atap kepala saya. Di atap kepalamu juga. Tapi ya itu, bahwa mereka harus jadi permainan bulu tangkis. Kita yang bermain, bukan kok atau raketnya, meski saya akhirnya benar-benar cemburu dan merasa harus memanen sesuatu. Duh, saya cemburu memikirkan kok yang bertumpuk-tumpuk di atap kepalamu.
Komentar
Posting Komentar