Langsung ke konten utama

Bulu Tangkis

Sekarang saya masih anak-anak. Dulu waktu lebih anak-anak dari ini saya mengisi hari-hari Ramadan dengan bermain bulu tangkis. Motorik saya cenderung lamban dibanding laju otak yang naudzubillah tidak warasnya ini. Tapi saya suka main bulu tangkis. Sebab rekan bermain saya menyenangkan, dia menyukai bulu tangkis.

Karena tinggal di kampung kami tidak punya lapangan. Kok yang kami pakai sering nyangsang di atap rumah. Saya doyan manjat kalau lolos pengawasan tapi saya sangat menjaga sopan santun. Jadi biasanya kami membiarkan kok yang nyangsang itu bertumpuk-tumpuk dulu baru seorang dari kami naik ke atap.

Sekarang rekan main saya itu sudah entah di mana. Dan bertahun-tahun saya sudah memutuskan berhenti main bulu tangkis dan sepak bola karena ingatan dan halusinasi yang mengancam. (Duh. Saya memang nggak waras)

Malam ini saya jadi teringat pada rekan itu, dan kok yang bertumpuk-tumpuk di atap rumah karena perenungan random. Saya sedang memikirkan apa-apa yang pernah, dan apa-apa yang bertumpuk-tumpuk. Manis sekali dulu saya punya teman bermain di malam-malam menjelang sahur, saya punya sesuatu yang dibiarkan bertumpuk-tumpuk untuk dipanen.

Berapa jumlahnya, hal-hal yang saya tumpuk sampai hari ini: koleksi batik parang, buku-buku, pengetahuan dan ketidaktahuan, puisi, hubungan-hubungan. Ke mana orang-orang yang pernah saya tulis dan menulis saya? Ke mana orang-orang yang pernah menulismu dan kautulis dalam puisimu?

Suatu hari saya akan sangat cemburu pada masa lalu. Bahwa saya pernah begini begitu, jatuh cinta pada ini dan itu, sini dan situ - eits! Bahwa cerita romantisme bertumpuk-tumpuk seperti kok di atap kepala saya. Di atap kepalamu juga. Tapi ya itu, bahwa mereka harus jadi permainan bulu tangkis. Kita yang bermain, bukan kok atau raketnya, meski saya akhirnya benar-benar cemburu dan merasa harus memanen sesuatu. Duh, saya cemburu memikirkan kok yang bertumpuk-tumpuk di atap kepalamu.

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...