Ada hal-hal tidak terduga, menyebabkan kita shock dan stress. Tapi saya begitu geli akan kebingungan yang menjangkit kepala saya pagi tadi. Saya harus berhadapan dengan sesuatu: seseorang, lampu merah, apapun, kota ini. Jadi saya bergegas mandi, kehabisan ide untuk dandan, saya tidak tahan melihat wajah saya di cermin. Saya memberanikan diri berkendara ke tengah kota. Jalan-jalan itu, saya mencoba mengenali rasa yang biasanya. Di pusat penjual bunga, toko langganan saya tutup, saya jadi berbelok ke lorong-lorong baru. Saya berhenti di toko paling ujung dan memilih beberapa batang mawar. Saya memilih tanpa berpikir kenapa dan apa yang akan saya lakukan untuk mengamankan bunga-bunga itu. Sebab saya enggan balik ke rumah segera. Saya ingin melihat Surabaya.
Di jalan-jalan orang terasa lebih hangat dari sebelumnya. Kota sedang lebih sepi, tapi saya merasakan keteguhan yang luar biasa. Bagaimana orang-orang menahan kesedihan dan kemarahannya dan memilih menebar senyum kepada yang lain. Kami takut, sebenarnya. Tapi darah kami tidak tahu cara menjadi pengecut.
Kami tidak tahu harus melakukan apa selain percaya diri, sok-sokan wani.
Waktu kabar bom susulan pagi tadi disebar, suara saya terkunci. Tanpa sadar saya berjalan mondar-mandir sampai seseorang menegur saya dan bertanya, "lapo?" Saya langsung mual.
Mereka yang ada di luar batas itu, tidak mengenal kota ini. Tahun-tahun yang kami usahakan untuk memperbaikinya. Orang-orang sedang bangun dan mengajak yang lain berjalan bersama. Bahwa kami berdamai dengan sangat indah, soal perubahan dunia, hal-hal menjijikkan yang disisakannya, (duh, dunia ini benar-benar menjijikkan!) perbedaan-perbedaan yang terbuka dan provokatif. Kami bukan kayu kering yang mudah tersulut api dan membakar seluruh desa. Mereka yang ada di luar batas itu, tidak mengenal kota ini.
Maling dan polisi di sini, kawan main kartu. Kami tahu masa berbagi rejeki dan kapan harus mengingatkan jika yang lain sudah keterlaluan. Pencuri dan yang dicuri pun sudah sama-sama paham. Itu kenapa kami bisa mudah merasakan luka bersama. Seorang teman bilang pintu-pintu perbatasan Surabaya dijaga sejak kemarin. Mereka yang ada di luar batas itu, kenapa mengusik rumah kami?
Saya pasti sangat berdosa karena ingin meninggalkan kota ini. Tapi saya membayangkan hal lain yang lebih seru kalau saya punya kesempatan buat kangen dan ketemu. Sekarang ini, Surabaya, semua orang sedang kangen padamu. Beberapa hari lagi, kembalilah.
Sementara itu kami mau sok-sokan wani. Kami ketawa-tiwi di warung kopi dan bilang dengan bangga hati: kami tidak takut, tapi kami rodok ndredeg. Kamu pasti paham.
Komentar
Posting Komentar