Langsung ke konten utama

Kangen

Saya tidak punya penjelasan kenapa kesadaran saya merespon peristiwa dengan kejutan-kejutan khusus. Tadi pagi saya bangun dari tidur yang sama sekali tidak nyenyak dan didera kebingungan hebat. Beberapa kesedihan biasanya memaku saya di ranjang, tapi tidak pernah membuntu kepala saya sedemikian padat. Dunia saya menyempit sebatas dinding kamar dan saya begitu berjarak dengan yang ada di baliknya. Saya tidak pernah kebingungan dalam hidup saya. 

Ada hal-hal tidak terduga, menyebabkan kita shock dan stress. Tapi saya begitu geli akan kebingungan yang menjangkit kepala saya pagi tadi. Saya harus berhadapan dengan sesuatu: seseorang, lampu merah, apapun, kota ini. Jadi saya bergegas mandi, kehabisan ide untuk dandan, saya tidak tahan melihat wajah saya di cermin. Saya memberanikan diri berkendara ke tengah kota. Jalan-jalan itu, saya mencoba mengenali rasa yang biasanya. Di pusat penjual bunga, toko langganan saya tutup, saya jadi berbelok ke lorong-lorong baru. Saya berhenti di toko paling ujung dan memilih beberapa batang mawar. Saya memilih tanpa berpikir kenapa dan apa yang akan saya lakukan untuk mengamankan bunga-bunga itu. Sebab saya enggan balik ke rumah segera. Saya ingin melihat Surabaya.

Di jalan-jalan orang terasa lebih hangat dari sebelumnya. Kota sedang lebih sepi, tapi saya merasakan keteguhan yang luar biasa. Bagaimana orang-orang menahan kesedihan dan kemarahannya dan memilih menebar senyum kepada yang lain. Kami takut, sebenarnya. Tapi darah kami tidak tahu cara menjadi pengecut.

Kami tidak tahu harus melakukan apa selain percaya diri, sok-sokan wani. 

Waktu kabar bom susulan pagi tadi disebar, suara saya terkunci. Tanpa sadar saya berjalan mondar-mandir sampai seseorang menegur saya dan bertanya, "lapo?" Saya langsung mual.

Mereka yang ada di luar batas itu, tidak mengenal kota ini. Tahun-tahun yang kami usahakan untuk memperbaikinya. Orang-orang sedang bangun dan mengajak yang lain berjalan bersama. Bahwa kami berdamai dengan sangat indah, soal perubahan dunia, hal-hal menjijikkan yang disisakannya, (duh, dunia ini benar-benar menjijikkan!) perbedaan-perbedaan yang terbuka dan provokatif. Kami bukan kayu kering yang mudah tersulut api dan membakar seluruh desa. Mereka yang ada di luar batas itu, tidak mengenal kota ini.

Maling dan polisi di sini, kawan main kartu. Kami tahu masa berbagi rejeki dan kapan harus mengingatkan jika yang lain sudah keterlaluan. Pencuri dan yang dicuri pun sudah sama-sama paham. Itu kenapa kami bisa mudah merasakan luka bersama. Seorang teman bilang pintu-pintu perbatasan Surabaya dijaga sejak kemarin. Mereka yang ada di luar batas itu, kenapa mengusik rumah kami? 

Saya pasti sangat berdosa karena ingin meninggalkan kota ini. Tapi saya membayangkan hal lain yang lebih seru kalau saya punya kesempatan buat kangen dan ketemu. Sekarang ini, Surabaya, semua orang sedang kangen padamu. Beberapa hari lagi, kembalilah. 

Sementara itu kami mau sok-sokan wani. Kami ketawa-tiwi di warung kopi dan bilang dengan bangga hati: kami tidak takut, tapi kami rodok ndredeg. Kamu pasti paham.


Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...