Siang tadi saya terbangun di kamar sendiri. Kamar yang biasa. Setelah tujuh hari ruang dan waktu seperti keluar dari tubuh saya. Sebab Surabaya tak ada?
Sebagai manusia yang dibentuk seutuhnya di kota ini, Surabaya memang penting sekali. Tapi ada hal-hal panjang yang rumit untuk dinarasikan sehingga saya begitu ingin setulusnya meninggalkan kota ini. Seorang penyair pernah bertanya, "kota mana yang kamu suka, selain Surabaya?" Saya tidak percaya bahwa saya mengatasi ancaman menjadi gila dan datang ke sana - orang bilang, siapa suruh datang - sebuah kota.
Sehari sebelum jadwal keberangkatan saya, saya seperti mendapat momen ilham. Di ujung Barat jalan Kenjeran, saya berkendara menghadap matahari terbenam. Hari yang baik, saya merasa Surabaya berbisik menyampaikan salam pelepasan. Saya jawab isyaratnya dengan penuh keyakinan: sungguh saya harus pergi, sebab saya ingin memandangmu dari jauh, lebih mesra lagi seperti sepasang mata jendela menatap sehampar taman di pagi hari. Saya berjanji tidak akan jadi gila.
Alhasil, saya jadi mendapat puluhan pisuhan sebab secara sepihak lenyap dan menolak dicari. Saya menolak bicara pada siapapun yang akan menggoyahkan kesadaran ruang dalam kepala saya. Akan sangat bombastis kalau-kalau di sana saya tidak sanggup lagi menahan berteriak atau bahkan pingsan di kereta. Duh, akan sangat isin dan ngenes. Saya tidak akan tertolong.
Yang terjadi adalah, selama empat hari, sebuah perahu terapung di dalam kepala saya. Kanan, kiri. Terapung di laut yang mandeg. Kanan, kiri, kosong dan bergoyang berat. Tapi itu sangat lebih sehat daripada yang terjadi di kedatangan pertama dulu.
Kenapa sebuah perahu yang mewujud di kepala saya, padahal selama empat hari penyiksaan luar biasa terjadi di dalam kereta; tangga bawah tanah stasiun, panggilan penumpang, matahari yang jatuh di peron-peron kosong, orang-orang yang berlari dan hidup di jalan. Hidup di jalan. Hah, saya menolak masuk ke dalam pikiran saya. Masih belum. Masih belum. Mungkin dua atau tiga hari lagi.
Ingatan-ingatan penting begitu ingin saya catatkan: Tuhan yang iseng dan menguji saya habis-habisan, mimpi yang ternyata harus ditunda lagi (duh, saya pasti punya hati jagat raya!), pelarian tambahan yang mengembalikan jiwa saya ke wadahnya, saya keliling Jawa dan berbahagia setelah Tuhan meniup buluh mimpi saya lebih jauh dari sebelumnya. Masih belum. Masih belum. Begitulah, yang tersisa pada hari ini adalah imaji seorang petugas stasiun KRL yang tidak membiarkan saya ketinggalan peluit terakhir, kereta terakhir, yang menghapus seluruh perasaan tidak adil yang hampir mengambil alih hati jagat raya saya.
Saya masih melihat, dia menundukkan tubuhnya menengok eskalator, memastikan tidak ada orang yang akan menutup kepergian pagi tadi dengan kekecewaan di malam hari. Lalu dia meniup peluit tapi saya tidak ingat suaranya. Sebab membicarakan kota itu, yang mewujud di kepala saya adalah sebuah perahu, kosong dan bergoyang berat. Baiklah, saya masih butuh tidur dan menyelamatkan diri saya sendiri dari kegilaan, kejahatan, kelaparan dan sesuatu yang lain yang mirip kelaparan.
Komentar
Posting Komentar