H+1 Monolog "Tjoet Nja' Dhien" Ine Febriyanti di Surabaya
Eksil. Kata 'eksil' dalam KBBI yang minim itu disetarakan dengan 'keluar'; 'terpinggirkan'. Umum sekali. Pendefinisian tersebut seolah menepikan ruang historis akan identitas dan keberadaan yang dilukai, di mana kata 'eksil' digunakan untuk menandai pembuangan seseorang dari komunal, rumah, tanah-airnya, khususnya pada era kolonial. Saya menyusur, dalam KBBI yang minim itu, kata 'eksil' memiliki satu bentukan morfologis saja, 'dieksilkan'. Ia pasif. Subjek-subjek yang ditandainya nirkuasa. Orang-orang buangan adalah orang-orang yang dilucuti, secara batin dan lahir.
Cut Nyak Dhien (Tjoet Nja' Dhien) saya kenal dari uang kertas Rp. 10.000 pada era reformasi. Pelajaran sejarah di sekolah dasar hanya memberi informasi samar: Cut Nyak Dhien, ia prajurit perempuan, dari Aceh, seorang pahlawan. Tidak ada ingatan soal 'eksil' yang berarti. Tidak ada makna pahlawan yang sedalam itu direnungi. Mungkin memang sebagai anak-anak waktu itu, saya cuma berhak menerima yang samar - apakah sebagai seorang anak kita hanya boleh menerima yang samar?-
Saya belum pernah merenunginya selain sebatas ikon uang lembaran. Menonton Cut Nyak Dhien - Tjoet Nja' Dhien, di sebuah panggung teater adalah pengalaman aksidental. Teater adalah momen aksidental, memang. Dan sebab ia adalah momen, saya tidak bisa menghindari rangkaian yang mendahuluinya: ingatan soal uang lembaran, sekolah dasar yang samar, dan pengalaman menonton di lain kesempatan.
Saya begitu terpukau pada kelembutan yang dibawakan Ine dalam Surti dan Tiga Sawunggaling. Nada yang masih sangat saya rasakan dalam perannya sebagai Tjoet Nja' Dhien. Lain juga dengan model Christien Hakim dalam versi film (1988). Tawaran Ine adalah sebuah interpretasi yang unik akan sosok perempuan tangguh, seorang prajurit perang, yang menikah dua kali, menjanda dua kali, dan tetap teguh pada prinsip perlawanannya sampai mati. Perlawanan sampai mati!
Tjoet Nja' Dhien, seorang perempuan tua hampir buta, dengan sarung Sumatera dan rencong di pinggangnya, mengenang ulang suaminya, Teuku Ibrahim, kehidupan belia, bara cinta pada negara dan akar agama yang membentuknya jadi pemberani. Dan bahwa ia adalah seorang perempuan, apapun yang terjadi, dengan seluruh identitas yang bertumpukan, di sebuah rumah tak layak, di tempat pembuangan. Menjadi seorang eksil, dunia mengecil dan mengeras di dipan bambu tempat Tjoet Nja' Dhien menghabiskan hari. Mungkin seperti batu, menggantikan dua bola matanya. Mungkin seperti bangkai melati, ia simpan di gelungan sarungnya, berceceran di seantero panggung - seantero makam.
Dua sisi prajurit perempuan digelar di panggung. Rencong dan tugas-tugas sebagai istri. Keteguhan bela negara dan ketabahan menunggu di rumah. Ada firasat kekasih untuk kekasih, ada cinta ibu untuk anaknya, yang diperjuangkan di antara hasutan dan pengkhianatan perang. Ada soal-soal heroik yang dibakar di panggung sederhana itu. Tentu. Ruang sentimental dalam musik khas Aceh, bunyi-bunyi lokal yang gaib dari dialog aktor (fonetis dan logat Acehnya yang hampir otentik) dan nyanyian menyayat yang menandai jeda babak.
Narasi historisnya padat dan mengalir, bahwa naskahnya ditulis dengan baik. Tidak ada kesan memaksakan kekayaan materi dan nilai estetis teks. Ine yang bertindak sebagai eksekutor tunggal - penulis naskah, sutradara, aktor- menunjukkan hasil kerja yang terbilang mengesankan. Ine tentu sudah sukses sebagai penulis naskah, namun beberapa ruang dalam penyutradaraan dan performa panggung aktor (terutama kejutan pengadeganan dan aliran emosi) -seperti yang saya katakan- masih menjanjikan sebuah pementasan yang lebih memukau lagi.
Saya jadi sedikit menyesali bahwa Surabaya adalah kota keempat yang disinggahi rombongan teater tersebut, dari sepuluh kota yang direncanakan. Di persinggahan keenam atau ketujuh nanti, pementasan tersebut pasti akan melampaui ekspektasi.
Sebagai perempuan banyak alasan bagi saya untuk tidak melewatkan rombongan monolog Ine. Banyak alasan untuk tetap mengingat pementasannya: kemarin ketika panggung masih gelap, sebuah lampu minyak memecah wujud dan bayangan benda-benda di panggung. Garis-garis bambu, kain kerudung yang lebar lusuh, benda-benda putih kecil berserak, timbul-tenggelam.
Eksil, dari titik itulah panggung dimulai, ketika Tjoet Nja' Dhien berada di tempat pembuangan di daerah Sumedang. Tempat yang menjadi tanah hara tubuhnya. Di sebuah dialog Tjoet Nja' Dhien meratap, memanggil, "Nangroe, Nangroe." Keinginan untuk pulang selalu mendasari lapisan identitas seseorang. Ada yang selalu dipanggil sebagai rumah, dimana pun berada, sejauh apapun, ketika ada atau tidak ia yang mengasingkan kita. Sekalipun di akhir babak, Tjoet Nja' Dhien berkata, "aku perempuan, yang akan selalu merdeka." Ada.
2018
Komentar
Posting Komentar