Tiga tahun lalu, seorang teman memberi saya lampu buliran. Manusia Indonesia kekinian menyebutnya dengan lampu tumblr. Waktu itu lampu tersebut belum tenar dan genit seperti sekarang. Dasar manusia Indonesia, selalu tertinggal di belakang saya.
Kemarin saat dirty camping bersama teman perempuan saya, saya bawa lampu tersebut sebagai pernik dekorasi. Dalam sebuah putaran truth or dare, seorang teman terdesak untuk mengambil pilihan dare menghitung jumlah bulir lampu dengan tepat. Si teman yang punya disleksia ini tergertak oleh ancaman saya, "aku tahu pasti jumlah bulirnya."
Saya tahu di kepalanya sudah ada seribu ancang-ancang untuk memanipulasi jawaban.
Setelah tiga kali kembali ke start, dia menyerah dan memohon untuk menganulir pilihan truth buatnya. Dia lalu menjawab pertanyaan yang tadi diajukan.
Saya belum bilang padanya, bahwa saya sama sekali tidak tahu jumlah buliran lampu itu. Saya bilang kemarin, penjualnya yang memberitahuku. Tapi tidak ada penjual. Lampu itu saya dapatkan dari seseorang yang tahu sekali kegilaan saya akan sistem tata cahaya. Saya akan mengaku nanti, mungkin lima atau enam belas hari lagi. Hihi.
Rencana yang panjang. Saya jadi berpikir kenapa saya harus mengaku, kenapa lima atau enam belas hari lagi, apa efeknya dalam hubungan kami, rencana-rencana dan kejutan itu? Saya sadar bahwa hal-hal manis dilakukan bagi seseorang istimewa sebab alasan-alasan yang formal dan sentimental. Saya bisa saja tidak mengacuhkan kebohongan saya, penderitaan kawan yang mengidap disleksia itu, kejengkelan dan suara tawanya. Tapi sejauh apa kita bisa hidup sendiri-sendiri, menepikan keberadaan masing-masing, meminimalisir pengaruh kehadiran dan ketidakhadiran? Jauh. Jauh sekali jawabannya.
Kita pasti bisa sendirian. Tapi kalau kita sendiri-sendiri, kita tidak bisa jadi lampu tumblr, yang saling mendukung, memberi pengaruh bahkan dari jarak yang sangat jauh. Memberi, menciptakannya - pengaruh baik bagi seseorang yang istimewa. Bukan sekadar menghormati kemungkinannya.
Komentar
Posting Komentar