Langsung ke konten utama

Chunky Bar dan Seorang Malaikat

Saya pamrih juga ternyata. Pernah saya ceritakan soal janji Chunky Bar yang diucapkan ibu saya, empat tahun lalu (via almarhum tumblr yang berharga). Saya ulang singkat: sebab saya adalah putri sulung baik hati dan kaya raya, saya memenuhi rajukan ibu saya untuk membelikannya Chunky Bar seberat 1 kg. Karena drama di sana sini ibu saya mewek dan mengutuk saya dengan mantra paling manis di dunia: semoga Tuhan membalasmu dengan kebahagiaan yang sama, sebagaimana kamu memberiku kado yang aku tunggu-tunggu. Nah, kira-kira begitu, romantisme adalah masa lalu.

Saya jadi tersugesti oleh kutukan itu. Setiap ulang tahun saya menunggu-nunggu kalau Tuhan memberi saya kejutan mahawow. Tahun pertama, tahun kedua, tahun ketiga, halah, ya sudah tentu saya putus asa. Lalu, di gerbang tahun ini saya dikejutkan oleh sebuah keinginan di luar prediksi. Angin mimpi saya berbelok karena sebuah pertemuan-mahaaneh-tidak-akan-saya-bahas-di-sini. Saya mendadak paranoid berbulan-bulan. Semacam kesirep, satu-satunya kalimat paling jelas yang bisa saya katakan untuk menjelaskan situasi itu adalah "saya terkena flu". Flu yang juga sudah pernah saya ceritakan (via tumblr yang itu). Singkatnya, saya jadi ingat lagi pada kutukan Chunky Bar. Lalu beberapa waktu mengusahakan diri, begini, begitu - demi sembuh dari virus flu- aih, saya putus asa lagi.

Setengah mati memanggil kembali diri saya sebelumnya. Yuk, ah, pulang. Saya menata lagi kegilaan-kegilaan, beberapa laci tertukar dalam kepala saya. Sebisa mungkin saya mengembalikan tempatnya semula, tapi, seperti, they were not that fit at all. Saya sampai pada tahap melupakan sakit flu, kutukan Chunky Bar, dan kegilaan saya biasanya. Tapi beberapa laci not that fit. Arah angin yang coba saya kembalikan ke jalurnya seolah bertiup dari lembah yang lain. Nah lho, saya jadi puitis. 

Saya sedang tidak ingin berbagi tentang arah angin dan lembahnya itu. Ini tentang kutukan Chunky Bar yang tiba-tiba mewujud dalam situasi maharumit ini. 

Di ujung penyerahan diri saya pada seluruh kemungkinan dan kekalahan yang agung, seorang teman mengintrik saya dengan sebuah kalimat, "nah, kamu tahu aku bajingan, kalau kamu pergi apa yang akan terjadi padaku? Kamu itu malaikat pelindungku." 

Tentu itu sebuah kalimat yang menjijikkan bagi hubungan kami. Ia katakan itu sambil tertawa setelah saya mati-matian menahan keinginan menjambak rambutnya, sebab ia lagi-lagi melibatkan saya pada sebuah permainan kotor. Tapi lalu ia mengusap pipinya, air matanya jatuh juga. Ia tahu, waktu itu ada buah berduri tiba-tiba pecah di kerongkongan saya. Masak dan merah, saya menahan diri mengunduhnya.  

Saya bukan orang yang bisa menimpali hal-hal begitu dengan ekspresi-ekspresi verbal dan normal yang dibutuhkan dalam situasi macam itu. Sepanjang berkendara menuju rumah, satu-satunya yang terlintas dalam pikiran saya adalah Chunky Bar dan seorang malaikat di salah satu lapisan langit. Kalau saja, kalau saja sekali waktu Tuhan membolehkannya mencicipi dunia, apakah ia akan tergiur dengan sepotong Chunky Bar? Tapi di saat bersamaan saya terilhami dan jernih, mata saya yang rabun melihat cahaya-cahaya lampu seperti buah berduri. Seorang malaikat tidak butuh Chunky Bar di sini atau di sana. Sebab ada sebuah rahasia: kita ini sudah di surga. Dunia adalah salah satu kamarnya.


2018

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...