Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2018

Suara yang Mengambang di Udara

Saya bermimpi menonton Surabaya dari jauh. Jalan-jalannya, taman-tamannya. Saya sudah mengira akan tertidur dengan perasaan demikian. Untunglah tidur menyelamatkan saya dari kegilaan. Secepat itu hari berubah. Sebuah sore saya meloloskan seseorang dari ketakutannya. Besok harinya saya penuhi impian masa kecilnya. Seseorang yang lain -sepertinya- menjadi demikian cemburu dan kecewa. Saya yang mendadak diserang ketakutan tiba-tiba. Lalu hari berkembang di luar pengetahuan kita. Sebuah kabar demikian sedih merusak mental saya. Seorang bayi perempuan tetangga mengalami kecelakaan. Otak saya ini tidak bisa mencerna hal-hal begitu. Saat kabar itu sampai ke telinga saya, saya segera membuntu seluruh saluran sensorik lanjutan di otak. Otak saya ini tidak bisa mencerna hal-hal begitu. Beberapa waktu lalu seorang teman juga mengalami hal mengerikan. "Kakinya kena gréndo ". Lalu cepat saja seseorang bertanya, " gréndo itu apa?". Waktu itu saya langsung berlari menjauh sambil b...

Mouthspray

Kita sulit dipuaskan. Setiap hari saya ingin mengoleksi perhatian-perhatian manis yang diberikan kepada saya. Tatapan mata, kata-kata yang sengaja dan tidak sengaja dipatahkan, air mineral -kebetulan kita haus di tengah cuaca Surabaya yang aduhai, orang-orang yang tidak melepaskan pendengarannya dari suaramu, yang diam-diam mengikutimu di belakang dan menunggu untuk mengatakan hai. Yang begini demimu, yang begitu demimu. Tapi kita sulit dipuaskan bukan? Sudah sebanyak itu koleksi dalam kepala kita ini, tapi kita tidak akan pernah merasa cukup diperhatikan. Kita sulit diyakinkan. Saya kira ketidakpuasan itu datang dari keraguan kita dalam membaca situasi. Saya sering berharap bisa membaca pikiran orang lain, kalau-kalau bukan meramal masa depan. Habis orang-orang berbicara dengan bahasa yang lebih gelap ketimbang puisi. I hate when they treat me like a mind reader. Sebab kita ini tidak selalu sepercaya diri itu. Bahkan kita sering ragu ada diri sendiri. Kita sulit diyakinkan oleh diri k...

Suara Palu di Tembok

Saya punya banyak orang baik sebagai hadiah. Banyak. Siapa yang bisa lebih beruntung dari itu? Hari-hari kita ini dibangun oleh hubungan-hubungan. Momen-momen kata Virginia. Bagaimana seseorang bisa menghapus kenangan seolah melepaskan salah satu bagian dari tubuhnya? Suatu malam, tengah malam, saya terbangun oleh suara pukulan palu di tembok rumah. Saya dengarkan seperti datang dari tetangga sebelah. Saya turun dari lantai atas kamar saya. Orang-orang di bawah lelap sekali. Saya kembali naik sampai mengenali suara pukulan palu itu berpindah-pindah gemanya. Tiba-tiba saya ketakutan seolah mendapat firasat aneh. Saya berpikir, apa yang dipukulkan si tetangga di tengah malam begini, dengan irama pukulan begini. Terlalu aneh. Kenapa ia memukulkan palu tepat di sisi rumah orang lain. Saya bergegas turun kembali. Saya kejar suara pukulan palu itu sayup dari ruang tamu ke kamar tidur bawah. Saya raba tembok rumah saya kalau-kalau terasa getaran. Apapun yang tetangga itu lakukan, jelas bukan ...

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Sudut Pandang

Seperti memasuki sebuah ruang yang jujur dan amat bersih. Kita duduk, memaknai keindahan dari sebuah sudut temaram. Segalanya menampakkan diri dalam gerak yang lamban dan sabar. Itu karena hati menjadi lebih lembut dari biasanya. Menghayati garis tangan seseorang, setiap inci dirinya, bahkan lipatan kulit di bawah matanya yang sulit dinarasikan. Betapa ia adalah ciptaan yang paling mempesona. Bahwa ia bernafas. Bahwa seumur hidupnya telah mengalami ribuan peristiwa yang membentuk dan mengubah hatinya, membawanya sampai kepadamu, dari jarak yang jauh melebihi bayangan. Bahwa ia adalah rahasia dari seluruh dunia yang membuatmu mengagumi kebodohanmu. Merasakan telunjuk di kulitnya, bahwa ia benar-benar ada dan nyata. Kita takut merusak pemandangan itu, kalau jemarimu terlalu keras menyentuh, kalau kau berkedip, ia mungkin akan memudar seperti pasir tersiram hujan di jalan. Kita terus-menerus mempertanyakan, di dunia yang mana ia lahir: keajaiban. Bahwa ia pernah terjatuh dan menangis keti...

Yang Biasa

Pagi ini saya libur mengajar. Sejak semalam saya diliputi firasat malas. Semakin dekat sekolah saya semakin ingin balik pulang. Duh, saya benci kalau firasat saya benar. Saya jadi menumpuk alasan menyombongkan diri.  Saya manusia-tanpa-rencana-asik akhir-akhir ini. Dan saya merasa sangat terganggu. Sebabnya adalah saya sedang menunggu kabar jauh. Jadi saya kehilangan hasrat untuk menikmati hari. Saya buru-buru ingin mencapai kejauhan itu. Jarak dari sini ke sana jadi saya tepikan. Ibarat perjalanan, saya dibutakan oleh tujuan. Sial. Saya jadi melewatkan banyak sekali: pulau-pulau jalan, monumen kota, orang-orang aneh yang kebetulan bertemu di lampu merah - sebuah keintiman yang dalam dan luput. Sial. Jelas ini bukan diri saya. Sanjungan bagi mereka yang bisa hidup dengan titik target. Saya menyerah. Saya bisa terbunuh dengan jalan ini. Apakah saya lebih pengecut dibanding orang-orang itu?  Saya cuma ingat menikmati hidup sebagai momen. Membiarkan diri saya dipeluk ketidaktahua...

Palasara

Belakangan saya renungkan lagi seorang tokoh fiktif yang paling hidup dalam kepala saya: Palasara. Betapa perkenalan yang manis tapi saya tidak punya kenang-kenangan apapun kecuali ingatan. Itu pun tumpang tindih.  Ketika saya menyadari bahwa Palasara, tokoh laki-laki pertama dalam cinta masa kecil saya, adalah kakek buyut Pandawa, saya menelusuri berbagai versi Mahabharata untuk menemukan mana yang paling sesuai sebagai rujukan ingatan saya yang samar itu. Tidak ada yang persis. Mulai dari berbagai versi lakon pewayangan, naskah saduran, hingga hikayat Melayu. Semua versi saling merumpangi yang lain. Aih. Palasaraku memang cuma dongeng Dancow. Saya mencurinya dulu dari koleksi adik laki-laki saya. Baru kali itu saya begitu menginginkan miliknya dan melakukan tindakan ekstrim.  Seorang yang dekat pernah bertanya siapa Palasara, "bagaimana kisahnya?" Dia ingin tahu kenapa saya begitu gandrung pada pertapa satu itu. Lalu saya bilang, "sulit. Banyak versi tentangnya." ...

Debu dan Lemari

Subuh yang mustajabah dan intim. Penuh kangen. Saya mengingat beberapa perumpamaan tentang debu dalam kitab suci. Saya cek via aplikasi ada 10 ayat yang memuat kata debu dengan berbagai nilai. Saya membayangkan sebuah lemari lama dari triplek murah. Di bagian atasnya kosong dan jadi rumah debu.  Pikiran kita ini apa juga seperti lemari itu? Bertumpuk-tumpuk ingatan terlipat di sana. Kita butuh kamper. Dan juga ruang gantung untuk ingatan-ingatan yang spesial. Tidak boleh kusut. Ingatan yang sering kita timang dibanding yang lain. Di tumpukan paling bawah, tentu yang paling kita angankan akan jarang dibuka-buka. Lalu di atas atap yang kosong itu, debu, apakah debu jika pikiran kita sebuah lemari? Saya membayangkan sebuah ruang dalam pikiran saya, yang kosong, dan paling tak pernah saya buka-buka.  Ada ruang seperti itu juga dalam kepala saya ternyata. Ruang sisa setelah saya memilih-milih yang disimpan dan tidak disimpan. Ruang yang enggan saya pikirkan. Ruang antara. Ruang kek...

Setelah Pernikahan

Semalam seorang kawan laki-laki melangsungkan resepsi pernikahan. Salah satu dari kawanan yang paling berbahaya. Dalam pesta itu saya menyadari sebagai perempuan saya termasuk dalam kawanan berbahaya. Saya dan seorang teman perempuan, di antara lebih dari lima belas laki-laki. Saya berputar balik dalam kenangan bagaimana saya sampai dalam kawanan ini. Sudah hampir tujuh tahun. Sebagai minoritas perempuan, saya berdua teman perempuan itu, sering menanggung masalah karena para laki-laki yang kurang cakap ini.  Mendadak saya merasa baik-baik saja. Ketika saya merasakan mereka dalam atmosfer yang sama seperti sebelumnya. Keakraban yang lagi-lagi saya takjubi. Keakraban yang semoga akan selamanya saya takjubi, setelah beberapa hal pasti berubah.  Setelah pesta resepsi, kami mencari tempat singgah untuk ngopi. Notabene lokasi pesta yang kami datangi masuk kawasan Dolly. Beberapa kafe jujukan penuh. Malam minggu, cinta yang sempit. Duh, kami berputar-putar sampai ke daerah Kemba...

Rembulan Terbakar

kemarau, penyairku, seperti matahari, berarak dari timur ke barat, tubuhku orang tropis tengadah ke langit, malam-malam leleh, segala hidup melarung di segala air yang kehijauan dan tak bergerak, namun telah kupanjatkan api dari dadaku ke dadamu, memimpin di ujung mata panah, seperti musim membelah barisan angin, dengarlah udara yang tersayat-sayat, tentara waktu yang kalah dan bermandikan luka tangan-tangan patah, ke hatimu kegelapan meradang,  berperisai rembulan terbakar 2018

Hopla