Langsung ke konten utama

Setelah Pernikahan

Semalam seorang kawan laki-laki melangsungkan resepsi pernikahan. Salah satu dari kawanan yang paling berbahaya. Dalam pesta itu saya menyadari sebagai perempuan saya termasuk dalam kawanan berbahaya. Saya dan seorang teman perempuan, di antara lebih dari lima belas laki-laki. Saya berputar balik dalam kenangan bagaimana saya sampai dalam kawanan ini. Sudah hampir tujuh tahun. Sebagai minoritas perempuan, saya berdua teman perempuan itu, sering menanggung masalah karena para laki-laki yang kurang cakap ini. 

Mendadak saya merasa baik-baik saja. Ketika saya merasakan mereka dalam atmosfer yang sama seperti sebelumnya. Keakraban yang lagi-lagi saya takjubi. Keakraban yang semoga akan selamanya saya takjubi, setelah beberapa hal pasti berubah. 

Setelah pesta resepsi, kami mencari tempat singgah untuk ngopi. Notabene lokasi pesta yang kami datangi masuk kawasan Dolly. Beberapa kafe jujukan penuh. Malam minggu, cinta yang sempit. Duh, kami berputar-putar sampai ke daerah Kembang Kuning. Sepanjang jalan saya tidak berhenti tertawa, karena bahagia dan terlalu bahagia. Ada saja hal-hal bodoh yang sengaja dan tidak sengaja para laki-laki itu lakukan. Di sebuah bundaran jalan mereka sengaja berputar sehingga kami semua seperti ulat berendeng dan gatal-gatal karena menahan geli. Duh, para laki-laki. Salah seorang jadi ngamuk merutuki temannya yang seperti anak kecil, di malam begini, di arus jalan penuh begini. Haha. Para laki-laki, jalan setelah pernikahan itu panjang sekali. 

Kami pasti sangat kangen pada yang lain. Ah, sayang sekali semalam kami gagal piknik sampai subuh. Padahal langit begitu manis, kalau dipandangi dari pantai Kerang, sembari membakar beberapa reruntukan yang suatu waktu akan dibawa juga oleh laut. Tidak ada yang tahu nasib yang disimpan oleh laut.

Tapi semalam saya mendadak sudah baik-baik saja. Seperti sembuh dari sesuatu. Saya pulang ke rumah setelah tamasya kecil di jalan-jalan protokol Surabaya. Sampai pukul 2 pagi, saya mengalihkan keinginan buat piknik dengan diam sendiri di halaman rumah, mencoba menemukan Saturnus, Mars, rasi Scorpio dan Libra, di antara Bulan yang seperti perahu di langit Timur. Bimasakti tersebar dari Utara ke Selatan. Jauhnya. Saya pasti berdosa karena ingin meninggalkan kota ini. Hm. Biar saja. 



Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...