Langsung ke konten utama

Mouthspray

Kita sulit dipuaskan. Setiap hari saya ingin mengoleksi perhatian-perhatian manis yang diberikan kepada saya. Tatapan mata, kata-kata yang sengaja dan tidak sengaja dipatahkan, air mineral -kebetulan kita haus di tengah cuaca Surabaya yang aduhai, orang-orang yang tidak melepaskan pendengarannya dari suaramu, yang diam-diam mengikutimu di belakang dan menunggu untuk mengatakan hai. Yang begini demimu, yang begitu demimu. Tapi kita sulit dipuaskan bukan? Sudah sebanyak itu koleksi dalam kepala kita ini, tapi kita tidak akan pernah merasa cukup diperhatikan.

Kita sulit diyakinkan. Saya kira ketidakpuasan itu datang dari keraguan kita dalam membaca situasi. Saya sering berharap bisa membaca pikiran orang lain, kalau-kalau bukan meramal masa depan. Habis orang-orang berbicara dengan bahasa yang lebih gelap ketimbang puisi. I hate when they treat me like a mind reader. Sebab kita ini tidak selalu sepercaya diri itu. Bahkan kita sering ragu ada diri sendiri. Kita sulit diyakinkan oleh diri kita sendiri. Ya, kalau benar begini, tapi kalau ternyata begitu? Kadang kita memang menangkap begini tapi ternyata maksudnya begitu.

Kita minim keberanian. Saya takut sekali salah tafsir. Mungkin ini efek negatif kesadaran stuktural. Kalau ditamat-tamati kita ini dikelilingi rangkaian petunjuk. Kadang kita tidak kuasa mengabaikan beberapa yang tampak, terus menggali yang tersembunyi. Sebab ada saja bisikan penghasut yang menakut-nakuti kita kalau kita salah. Bisa begini, bisa-bisa begitu. Sebab kesalahan itu memalukan. Tidak lucu apalagi imut.

Itu kenapa penyair Sapardi pernah bilang, "cinta adalah yang kau kumur-kumur, tak pernah masuk tenggorokanmu". Di mulut kita ini bersarang apa saja. Segala yang berumah di kepala kita bisa babak belur di rongga mulut, batal keluar, atau malah, salah sasaran. Kita ingin begini tapi malah bilang begitu. Jadilah cinta yang segar cuma mampir di badan kita ini sebagai obat kumur yang melegakan lidah dan gigi selama beberapa waktu. Sebab memang di mulut kita itu segalanya bertaruh. Di mulut, bukan kepala. Hati dan kepala kita itu diam-diam punya hubungan yang damai, tapi mulut kita sering merusaknya. Sering membelokkan arahnya.

Sejurus saja dalam kepala saya terangkai kalimat: kepuasan tergantung pada keyakinan. Keyakinan itu tergantung pada keberanian. 

Untunglah dengan mengetik begini, tangan yang bicara, bukan mulut saya. Saya jadi bisa cerita ada laki-laki muda minta dibelikan mouthspray pada saya. Ia bilang itu benda kecil sudah berputar-putar di kepalanya sejak ia kecil. 

"Aku janji tampil bagus!" Katanya memotivasi diri menampilkan pembacaan puisi yang seksi untuk sebuah lomba. Saya geli memperhatikan tangannya pura-pura menyemprot ke mulut, menirukan tokoh telenovela dengan norak tapi sangat laki-laki. Sangat laki-laki. 

Ia bilang kalah atau menang itu mengikuti di belakang, yang penting adalah mouthspray. Ya, dia benar. Apalagi yang harus kita pertimbangkan dalam situasi yang serba belum pasti begini, sebuah lomba. Pada mouthspray ia telah mengukur kepuasan, keyakinan, dan keberaniannya. Apalagi, kalau dalam hari-hari yang penuh koleksi cinta saja bisa jadi sekadar obat kumur?

Kepuasan, keyakinan, dan keberanian kita -dan cinta kita- mungkin adalah mouthspray, setelah tiga, atau empat batang rokok. Mouthspray ataupun obat kumur, dua-duanya jangan sampai masuk tenggorokanmu.


2018

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...