Kita sulit diyakinkan. Saya kira ketidakpuasan itu datang dari keraguan kita dalam membaca situasi. Saya sering berharap bisa membaca pikiran orang lain, kalau-kalau bukan meramal masa depan. Habis orang-orang berbicara dengan bahasa yang lebih gelap ketimbang puisi. I hate when they treat me like a mind reader. Sebab kita ini tidak selalu sepercaya diri itu. Bahkan kita sering ragu ada diri sendiri. Kita sulit diyakinkan oleh diri kita sendiri. Ya, kalau benar begini, tapi kalau ternyata begitu? Kadang kita memang menangkap begini tapi ternyata maksudnya begitu.
Kita minim keberanian. Saya takut sekali salah tafsir. Mungkin ini efek negatif kesadaran stuktural. Kalau ditamat-tamati kita ini dikelilingi rangkaian petunjuk. Kadang kita tidak kuasa mengabaikan beberapa yang tampak, terus menggali yang tersembunyi. Sebab ada saja bisikan penghasut yang menakut-nakuti kita kalau kita salah. Bisa begini, bisa-bisa begitu. Sebab kesalahan itu memalukan. Tidak lucu apalagi imut.
Itu kenapa penyair Sapardi pernah bilang, "cinta adalah yang kau kumur-kumur, tak pernah masuk tenggorokanmu". Di mulut kita ini bersarang apa saja. Segala yang berumah di kepala kita bisa babak belur di rongga mulut, batal keluar, atau malah, salah sasaran. Kita ingin begini tapi malah bilang begitu. Jadilah cinta yang segar cuma mampir di badan kita ini sebagai obat kumur yang melegakan lidah dan gigi selama beberapa waktu. Sebab memang di mulut kita itu segalanya bertaruh. Di mulut, bukan kepala. Hati dan kepala kita itu diam-diam punya hubungan yang damai, tapi mulut kita sering merusaknya. Sering membelokkan arahnya.
Sejurus saja dalam kepala saya terangkai kalimat: kepuasan tergantung pada keyakinan. Keyakinan itu tergantung pada keberanian.
Untunglah dengan mengetik begini, tangan yang bicara, bukan mulut saya. Saya jadi bisa cerita ada laki-laki muda minta dibelikan mouthspray pada saya. Ia bilang itu benda kecil sudah berputar-putar di kepalanya sejak ia kecil.
"Aku janji tampil bagus!" Katanya memotivasi diri menampilkan pembacaan puisi yang seksi untuk sebuah lomba. Saya geli memperhatikan tangannya pura-pura menyemprot ke mulut, menirukan tokoh telenovela dengan norak tapi sangat laki-laki. Sangat laki-laki.
Ia bilang kalah atau menang itu mengikuti di belakang, yang penting adalah mouthspray. Ya, dia benar. Apalagi yang harus kita pertimbangkan dalam situasi yang serba belum pasti begini, sebuah lomba. Pada mouthspray ia telah mengukur kepuasan, keyakinan, dan keberaniannya. Apalagi, kalau dalam hari-hari yang penuh koleksi cinta saja bisa jadi sekadar obat kumur?
Kepuasan, keyakinan, dan keberanian kita -dan cinta kita- mungkin adalah mouthspray, setelah tiga, atau empat batang rokok. Mouthspray ataupun obat kumur, dua-duanya jangan sampai masuk tenggorokanmu.
2018
Komentar
Posting Komentar