Subuh yang mustajabah dan intim. Penuh kangen. Saya mengingat beberapa perumpamaan tentang debu dalam kitab suci. Saya cek via aplikasi ada 10 ayat yang memuat kata debu dengan berbagai nilai. Saya membayangkan sebuah lemari lama dari triplek murah. Di bagian atasnya kosong dan jadi rumah debu.
Pikiran kita ini apa juga seperti lemari itu? Bertumpuk-tumpuk ingatan terlipat di sana. Kita butuh kamper. Dan juga ruang gantung untuk ingatan-ingatan yang spesial. Tidak boleh kusut. Ingatan yang sering kita timang dibanding yang lain. Di tumpukan paling bawah, tentu yang paling kita angankan akan jarang dibuka-buka. Lalu di atas atap yang kosong itu, debu, apakah debu jika pikiran kita sebuah lemari? Saya membayangkan sebuah ruang dalam pikiran saya, yang kosong, dan paling tak pernah saya buka-buka.
Ada ruang seperti itu juga dalam kepala saya ternyata. Ruang sisa setelah saya memilih-milih yang disimpan dan tidak disimpan. Ruang yang enggan saya pikirkan. Ruang antara. Ruang kekhawatiran-kekhawatiran. Ruang debu. Ruang yang saya ingkari keberadaannya. Tidak ada yang mau repot memikirkan atap lemari yang kosong.
Tapi mengapa kita tidak mau memikirkan atap lemari yang kosong dan sampai menggunakan kata 'repot' di sana? Saya merasa mencurangi sebuah lemari, yang penuh dengan pengabdian dan setia. (Saya tahu hari ini kesetiaan sudah jadi bagian kapitalis, dan bahwa kemarin, kemarin kesetiaan itu tidak ada. Seorang teman bilang, yang ada adalah kebodohan dan keluguan seorang anak yang selalu-baru-saja-lahir.) Saya menjaga hal-hal yang saya simpan di dalamnya agar tetap wangi dan bersih tapi saya membiarkan sebuah ruang kosong dihuni debu, semakin saya menolak memikirkan atap lemari itu, semakin tebal debu menumpuk di situ.
Saya tidak pandai menjaga pikiran saya sendiri untuk tetap bersih rupanya. Tapi apa-apa yang tersimpan dalam lemari, sungguh, adalah pakaian yang baik - saya hanya memiliki pakaian yang baik. Semua pakaian saya baik sebab saya tidak pernah berpikir menyesal telah memiliki sesuatu. Tidak ada ingatan yang saya sesali di dunia. Tapi soal lemari saya, lemari saya yang penuh pengabdian dan setia. Mungkin itu sebabnya saya ragu apakah sampai hari ini saya seratus persen waras.
Saya baru saja sadar, saya tidak pandai menjaga kewarasan pikiran saya sendiri. Saya membayangkan seseorang, pembantu, tukang bersih-bersih yang mengelap perabotan dalam rumah saya setiap hari. Meniup debu jadi debu. Ia harus orang yang tahu benar isi dalam lemari supaya paham betapa saya butuh bantuannya untuk menjaga lemari tetap bersih. Orang yang, sama sekali, seperti diri saya sendiri. Ada, orang yang saya lihat sama sekali seperti diri saya sendiri. Tapi ia sedang jauh. Semoga segera saya bisa menjangkaunya.
Komentar
Posting Komentar