Langsung ke konten utama

Suara yang Mengambang di Udara

Saya bermimpi menonton Surabaya dari jauh. Jalan-jalannya, taman-tamannya. Saya sudah mengira akan tertidur dengan perasaan demikian. Untunglah tidur menyelamatkan saya dari kegilaan. Secepat itu hari berubah.

Sebuah sore saya meloloskan seseorang dari ketakutannya. Besok harinya saya penuhi impian masa kecilnya. Seseorang yang lain -sepertinya- menjadi demikian cemburu dan kecewa. Saya yang mendadak diserang ketakutan tiba-tiba. Lalu hari berkembang di luar pengetahuan kita. Sebuah kabar demikian sedih merusak mental saya. Seorang bayi perempuan tetangga mengalami kecelakaan.

Otak saya ini tidak bisa mencerna hal-hal begitu. Saat kabar itu sampai ke telinga saya, saya segera membuntu seluruh saluran sensorik lanjutan di otak. Otak saya ini tidak bisa mencerna hal-hal begitu.

Beberapa waktu lalu seorang teman juga mengalami hal mengerikan. "Kakinya kena gréndo". Lalu cepat saja seseorang bertanya, "gréndo itu apa?". Waktu itu saya langsung berlari menjauh sambil berteriak, "aku aja dikei weruh!" (jangan beri tahu saya). Saya terus berteriak mengancam jangan sampai mereka bicara keras dan membiarkan saya mendengar apapun. Otak saya ini tidak bisa mencerna hal-hal begitu.

Kata-kata punya daya pantik luar biasa bagi saya. Pesan-pesan mengerikan demikian itu seperti sikat paku digosokkan ke jidat saya. Sebuah usaha pengendalian diri yang selalu mengancam batas.

Semalam: lorong instalansi gawat darurat, orang-orang yang terlantar di kanan-kiri, yang mungkin tidak bisa merasakan sakit lagi; bapak tua yang duduk terpejam di ranjang, kulitnya yang lungsut; laki-laki terkapar dengan pandangan yang jauh; ibu-ibu dengan kipas di tangan mereka; suara-suara mereka mengambang di udara. Melamban. Mata saya seolah menangkap segalanya, di tengah suara yang mengambang di udara, saya mendengar suara langkah kaki saya sendiri begitu jelas. Terpisahkan dari mereka.

Di luar rumah sakit segalanya lebih menuntut. Kenyataan bahwa saya sampai di kamar dengan selamat selalu ajaib. Saya akan terbaca benar-benar gila kalau menceritakan apa yang terjadi sepanjang jalan menuju rumah dalam situasi-situasi macam ini. Saya berjanji untuk menolong diri saya sendiri suatu hari nanti. Saya benar-benar telah menduga akan terbangun dengan perasaan bagaimana.


2018



Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...