Seperti memasuki sebuah ruang yang jujur dan amat bersih. Kita duduk, memaknai keindahan dari sebuah sudut temaram. Segalanya menampakkan diri dalam gerak yang lamban dan sabar. Itu karena hati menjadi lebih lembut dari biasanya. Menghayati garis tangan seseorang, setiap inci dirinya, bahkan lipatan kulit di bawah matanya yang sulit dinarasikan. Betapa ia adalah ciptaan yang paling mempesona. Bahwa ia bernafas. Bahwa seumur hidupnya telah mengalami ribuan peristiwa yang membentuk dan mengubah hatinya, membawanya sampai kepadamu, dari jarak yang jauh melebihi bayangan. Bahwa ia adalah rahasia dari seluruh dunia yang membuatmu mengagumi kebodohanmu. Merasakan telunjuk di kulitnya, bahwa ia benar-benar ada dan nyata. Kita takut merusak pemandangan itu, kalau jemarimu terlalu keras menyentuh, kalau kau berkedip, ia mungkin akan memudar seperti pasir tersiram hujan di jalan. Kita terus-menerus mempertanyakan, di dunia yang mana ia lahir: keajaiban. Bahwa ia pernah terjatuh dan menangis ketika belajar berjalan. Kita penasaran pada suara tangisannya tapi tak ingin melihatnya menangis. Bagaimana ia tumbuh tanpa diriku? Ribuan keinginannya gagal terpenuhi, kita ingin mendaftarnya satu persatu. Adakah orang-orang lain yang ia cintai, mengapa seluruh dunia tidak datang ke kakinya. Bahwa ia menderita dan bertahan selama ini. Kita akan menjadi orang yang paling giat membantunya. Melakukan apapun dan menjadi lebih lemah. Dan bahwa seluruh kesalahannya termaafkan.
Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....
Komentar
Posting Komentar