Langsung ke konten utama

Palasara

Belakangan saya renungkan lagi seorang tokoh fiktif yang paling hidup dalam kepala saya: Palasara. Betapa perkenalan yang manis tapi saya tidak punya kenang-kenangan apapun kecuali ingatan. Itu pun tumpang tindih. 

Ketika saya menyadari bahwa Palasara, tokoh laki-laki pertama dalam cinta masa kecil saya, adalah kakek buyut Pandawa, saya menelusuri berbagai versi Mahabharata untuk menemukan mana yang paling sesuai sebagai rujukan ingatan saya yang samar itu. Tidak ada yang persis. Mulai dari berbagai versi lakon pewayangan, naskah saduran, hingga hikayat Melayu. Semua versi saling merumpangi yang lain. Aih. Palasaraku memang cuma dongeng Dancow. Saya mencurinya dulu dari koleksi adik laki-laki saya. Baru kali itu saya begitu menginginkan miliknya dan melakukan tindakan ekstrim. 

Seorang yang dekat pernah bertanya siapa Palasara, "bagaimana kisahnya?" Dia ingin tahu kenapa saya begitu gandrung pada pertapa satu itu. Lalu saya bilang, "sulit. Banyak versi tentangnya." 

"Ceritakan versimu. Ceritakan versi Palasaramu."

Saya merasa seperti diminta meramu resep sendiri. Saya tentukan akhir kisah sendiri. Palasara yang mungkin sudah tidak bisa ditampung oleh dongeng Dancow. 

Sebagai ingatan, apalagi ingatan yang tua, Palasara mengada di sebuah kamar dalam kepala saya. Dia tepat ada di sana. Saya melihat warna biru keunguan keputih-putihan membayangi pintu kamar itu. Warna yang tumpang tindih. 

Bodohnya saya selama ini mencari sebuah kata untuk menamai warna di pintunya. Padahal bahkan indera penglihatan kita bisa menangkap lebih dari 1.000.000 warna tanpa nama. Apa yang tidak tumpang tindih di dunia, dan kenapa kita perlu untuk menelusuri jejak-jejak mahapanjang seperti arus sungai dari telaga di puncak gunung, berasal dari hujan sepanjang tahun, dari laut yang naik langit, dari sungai yang bermuara ke ...? Aduh. 

Kenapa saya tidak merasa cukup dengan hanya memiliki kenang-kenangan berupa ingatan dalam kepala saya?


Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...