Langsung ke konten utama

Suara Palu di Tembok

Saya punya banyak orang baik sebagai hadiah. Banyak. Siapa yang bisa lebih beruntung dari itu? Hari-hari kita ini dibangun oleh hubungan-hubungan. Momen-momen kata Virginia. Bagaimana seseorang bisa menghapus kenangan seolah melepaskan salah satu bagian dari tubuhnya?

Suatu malam, tengah malam, saya terbangun oleh suara pukulan palu di tembok rumah. Saya dengarkan seperti datang dari tetangga sebelah. Saya turun dari lantai atas kamar saya. Orang-orang di bawah lelap sekali. Saya kembali naik sampai mengenali suara pukulan palu itu berpindah-pindah gemanya. Tiba-tiba saya ketakutan seolah mendapat firasat aneh. Saya berpikir, apa yang dipukulkan si tetangga di tengah malam begini, dengan irama pukulan begini. Terlalu aneh. Kenapa ia memukulkan palu tepat di sisi rumah orang lain.

Saya bergegas turun kembali. Saya kejar suara pukulan palu itu sayup dari ruang tamu ke kamar tidur bawah. Saya raba tembok rumah saya kalau-kalau terasa getaran. Apapun yang tetangga itu lakukan, jelas bukan sebuah paku yang ia tancapkan ke tembok. Saya terus khawatir, semoga ia tidak sedang menancapkan hal buruk.

Saya terjaga sambil tanpa sadar berdoa dalam hati selama mendengar suara pukulan palu itu. Waktu berhenti, saya lihat satu jam saya berdiri di ujung kasur tempak adik saya tidur. Saya diam memikirkan apa yang terjadi kalau tidak ada seorang pun yang terjaga. 

Saya merasa sentimentil, terjaga diam-diam begitu. Tidak seorang pun tahu. Berapa kali diam-diam seseorang menjagamu, duduk di ujung kasurmu, atau waspada di belakang punggungmu, menghalau yang tiba-tiba. Saya tidak kuat membayangkan kebaikan orang lain bagi diri saya.

Saya pasti sudah jahat sekali karena ingin meninggalkan rumah ini. Kota ini. Duh, bagaimana saya bersembunyi? Seorang teman selalu saja menyisipkan pesan sedih di setiap kesempatan: kalau kamu tidak ada.. kalau kamu pergi.. kalau aku tidak punya teman lagi.. Di saat yang sama saya juga membatin: kalau aku tidak ada.. kalau aku jadi pergi.. kalau aku tidak punya teman lagi.. Orang-orang begitu baik. Betapa jahatnya saya pada diri saya sendiri.

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...