Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2020

Studi Sastra dalam Revisi

Hari ini saya baca konsep inovasi pendidikan tinggi menteri pendidikan yang baru. Saya pribadi memang lebih mudah percaya pada laki-laki ganteng. Jadi, inovasi yang sifatnya akomodatif, efektif, efisien macam itu, sudah tentu mengambil hati saya. Namun sepertinya kecemerlangan semacam itu tetap sulit dikejar oleh masyarakat arena sastra. Saya jadi ingin ngomel tidak serius untuk hal serius begitu. Sastra yang akomodatif buat situasi kekinian. Seharusnya akan jadi seru. Cuma itu loh, oknumnya, paling kolot dan nggak visioner kalau dibanding bidang lain. Keilmuan lain mengambil strategi hari ini dengan pengandaian masa depan. Tapi orang sastra sedikit sekali yang begitu. Represi dan -anehnya- kenyamanan menghapus orientasi bahwa meski kamu mati besok, dunia masih ada. Dan peninggalanmu: puisimu, cerpenmu, novelmu, lirik lagumu, juga bertanggung jawab atas kelangsungan masa depan. Siapa yang menjamin bahwa tulisanmu hari ini akan semata memberi energi positif kelak? Seseorang bisa...

Jarak Kita dengan Keajaiban

Saya percaya keajaiban, sebab sudah ada. Namun beberapa waktu belakangan saya menyadari fakta khusus tentangnya: keajaiban akan selalu berjarak dengan kita. Sedekat apapun. Keajaiban itu ada tapi kita tidak akan benar-benar memeluknya. Keajaiban dengan sendirinya memisahkan diri dari realita setidaknya sebagai sebuah anomali. Maka keajaiban yang lebur realita, bisa saya andaikan sebagai bukan keajaiban lagi. Ia telah menjelma realita. Dan realita ya selalu begini: logis. Biasa. Maka saya mempercayai bahwa selalu ada jarak antara kita dan keajaiban. Ketika keajaiban menjelma pertama-tama dalam harapan kita, seharusnya kita juga menghitung seberapa besar peluang keajaiban mewujud dalam realita. Alih-alih bernafsu untuk memeluknya. Jarak yang kita bangun dalam perhitungan itulah yang akan menjaga kemurnian - kesucian - kemagisan, keajaiban dari nafsu kita itu. Dan bila suatu hari keajaiban menjangkau kita, kita akan telah mengingat perhitungan jarak itu. Kita akan mengingatnya terus...

Kalbu

Kalbu - lama tidak mendengar kata itu. Di mana seseorang meletakkan kalbunya? Barangkali saya tidak mampu memberi jawaban sebab ketika saya pikir berkali-kali, saya tidak tahu di mana kalbu saya, hati saya, sebab ia bukan milik saya. Kalau seseorang menjawab di mana letak hatinya, barangkali saya harus mengingatkan dia, "Kamu tutupi hatimu di situ, biar aman." Sungguh taruhan yang mahal kalau seseorang, bahkan dirimu sendiri, tahu di mana letak hatimu. Dunia ini mahajail, lho. Kalau ada angin yang mencuri dengar kata hatimu itu, seekor iblis akan menangkapnya. Memanfaatkan keburukan darinya. Saya habis berdebat dengan seorang teman tentang bagaimana sastra membantu kita menghayati kehidupan. Katanya, "Orang belajar sastra 'kan harusnya menyelubungi hatinya dengan warna-warni." Ya. Ya. Di permukaan bumi ini, cinta kasih itu warna-warni. Di dasar bumi juga. Kalau seseorang membungkus hatinya sendiri dengan kegelapan, salah. Sebab saya kira cinta bukan sesu...

Musim di Surga

Seorang anak laki-laki sembilan tahun, dulu pernah memulai puisinya dengan pertanyaan begini: di surga sekarang sedang musim apa?  Dalam sebuah obrolan santai dengan seorang teman perempuan, saya menyadari ada empat batas ruang sosial yang kabur -atau rusak- hari ini: ruang privat, ruang komunal, ruang publik, dan ruang universal. Kami membedakan arena 'publik' dan 'universal' sebab hari ini ada media sosial - yang melabeli konflik-konflik universal (cenderung profan) sebagai konflik publik (cinta, tuhan, dan perdamaian misalnya), dan sialnya menggeser yang publik menjadi nonsens. Misalnya kebakaran hutan, perubahan iklim, gerakan ekologi, dan lain-lain. Kalau seorang laki-laki di sebelahmu membicarakan perubahan iklim, rencana perjalanan NASA ke Mars, atau itikad membuang sampah pada tempatnya sejak dari kamar ke jalanraya, kenalkan padaku.   Saya tahu di luar sana banyak orang sudah bergerak lebih serius untuk konflik-konflik publik semacam itu. Tapi saya membic...

Catatan Penjurian Lomba Cerpen Nasional DK-Surabaya 2019 - Urbanhype* (2)

*Catatan penjurian 2 ini ditulis oleh Bramantio sebagai Juri Anggota LCN DKS 2019 - Urbanhype Lomba ini digagas oleh Dewan Kesenian Surabaya sebagai bagian dari rangkaian ikhtiar memelihara kehidupan bersastra kita. Lomba ini juga sebuah wadah untuk mengakomodasi perkembangan sastra terkini, menjawab pertanyaan ihwal ke mana arah sastra kita, sekaligus menumbuhkan harapan bahwa senantiasa ada generasi yang berproses dengan tekun mencipta karya.  Kami membaca 125 cerpen yang lulus persyaratan administrasi tanpa mengetahui siapa pengarangnya. Seperti jamaknya sebuah lomba, kami menentukan sejumlah kriteria sebagai panduan dalam menentukan cerpen-cerpen pemenang, sebagai berikut: keselarasan bentuk dan isi, kesegaran interpretasi atas tema urbanhype, dan kecakapan berbahasa Indonesia. Secara umum, cerpen-cerpen yang kami baca menghadirkan sensitivitas bahkan sensibilitas yang khas tentang manusia dan dunia. Kekhasan di sini kami tengarai merupakan penanda sebuah gener...

Waktu telah Mencuri Suaraku

biar aku mencintaimu dalam diam, waktu telah mencuri suaraku dan lagu-lagu yang kaunyanyikan di telingaku, musim dingin mengawali tahun ini, menandai jalanan sepi, tak ada kota masa depan itu, jalur kereta hanya membawa orang-orang melihat sawah dan jurang, kabut membatasi dunia ini dengan ketiadaan dan aku terus menebak - keingintahuan yang tak terkendali ini- bahasa lain yang digunakan orang-orang di sana, menyebut langit, menyebut rumah, menyebut laut, menyebut perjalanan yang berani dan tak berarah sampai seluruh bumi habis dibajak, habis dipatok, papan-papan nama menunggu dilupakan, segalanya hanya menunggu dilupakan, dan di dalam diriku, ingatan melolong berlarian sebagai bayang-bayang binatang siluman, melolong, mendorong gelombang kesedihan ini ke seluruh jagat, tapi hanya angin bertumbangan oleh sayatan pedang ini, amuk yang berharap bisa membangkitkan sesuatu di dasar bumi, di mana akan kaujumpai aku, di mana, suaraku akan kudapati menyebutkan namamu sekali lagi, ke mana, w...

Hopla