Hari ini saya baca konsep inovasi pendidikan tinggi menteri pendidikan yang baru. Saya pribadi memang lebih mudah percaya pada laki-laki ganteng. Jadi, inovasi yang sifatnya akomodatif, efektif, efisien macam itu, sudah tentu mengambil hati saya.
Namun sepertinya kecemerlangan semacam itu tetap sulit dikejar oleh masyarakat arena sastra. Saya jadi ingin ngomel tidak serius untuk hal serius begitu.
Sastra yang akomodatif buat situasi kekinian. Seharusnya akan jadi seru. Cuma itu loh, oknumnya, paling kolot dan nggak visioner kalau dibanding bidang lain.
Keilmuan lain mengambil strategi hari ini dengan pengandaian masa depan. Tapi orang sastra sedikit sekali yang begitu. Represi dan -anehnya- kenyamanan menghapus orientasi bahwa meski kamu mati besok, dunia masih ada. Dan peninggalanmu: puisimu, cerpenmu, novelmu, lirik lagumu, juga bertanggung jawab atas kelangsungan masa depan.
Siapa yang menjamin bahwa tulisanmu hari ini akan semata memberi energi positif kelak? Seseorang bisa memanfaatkannya untuk menghancurkan dunia.
Saya sering main ke forum-forum sejarah, perhimpunan dokter, komunitas robotika, membaca review rencana perjalanan luar angkasa, revolusi sistem pengajaran dan penerapan teknologi pertanian, mereka semua berjalan ke depan. Apakah sastra memang tidak bisa berjalan ke depan?
Bisa. Saya mencermati kajian-kajian sastra klasik dunia. Dialektika yang bergerak dari masa lalu untuk pembangunan jembatan peradaban. Interpretasi melahirkan pengetahuan-pengetahuan dan bahkan ramalan.
Saking suremnya masa depan yang teramalkan dalam sastra, tidak berarti memberimu hak untuk mengutuk masa depan. Apalagi dalam ruang akademik. Para akademisi sastra yang pesimis pada keilmuannya sendiri, bergerak semrawut.
Sastra jadi tidak punya trayek visi sama sekali selain mendukungmu untuk leha-lehe dari kafe ke kafe. Merayakan romantisme. Lupa kalau sastra ada sistemnya. Dirancang sebagai "program" dan punya target dalam gerak peradaban. Apa targetnya? Hayo nggak bisa jawab. Bingung tho kamu. Goblok si.
2020
Namun sepertinya kecemerlangan semacam itu tetap sulit dikejar oleh masyarakat arena sastra. Saya jadi ingin ngomel tidak serius untuk hal serius begitu.
Sastra yang akomodatif buat situasi kekinian. Seharusnya akan jadi seru. Cuma itu loh, oknumnya, paling kolot dan nggak visioner kalau dibanding bidang lain.
Keilmuan lain mengambil strategi hari ini dengan pengandaian masa depan. Tapi orang sastra sedikit sekali yang begitu. Represi dan -anehnya- kenyamanan menghapus orientasi bahwa meski kamu mati besok, dunia masih ada. Dan peninggalanmu: puisimu, cerpenmu, novelmu, lirik lagumu, juga bertanggung jawab atas kelangsungan masa depan.
Siapa yang menjamin bahwa tulisanmu hari ini akan semata memberi energi positif kelak? Seseorang bisa memanfaatkannya untuk menghancurkan dunia.
Saya sering main ke forum-forum sejarah, perhimpunan dokter, komunitas robotika, membaca review rencana perjalanan luar angkasa, revolusi sistem pengajaran dan penerapan teknologi pertanian, mereka semua berjalan ke depan. Apakah sastra memang tidak bisa berjalan ke depan?
Bisa. Saya mencermati kajian-kajian sastra klasik dunia. Dialektika yang bergerak dari masa lalu untuk pembangunan jembatan peradaban. Interpretasi melahirkan pengetahuan-pengetahuan dan bahkan ramalan.
Saking suremnya masa depan yang teramalkan dalam sastra, tidak berarti memberimu hak untuk mengutuk masa depan. Apalagi dalam ruang akademik. Para akademisi sastra yang pesimis pada keilmuannya sendiri, bergerak semrawut.
Sastra jadi tidak punya trayek visi sama sekali selain mendukungmu untuk leha-lehe dari kafe ke kafe. Merayakan romantisme. Lupa kalau sastra ada sistemnya. Dirancang sebagai "program" dan punya target dalam gerak peradaban. Apa targetnya? Hayo nggak bisa jawab. Bingung tho kamu. Goblok si.
2020
Komentar
Posting Komentar