Langsung ke konten utama

Kalbu

Kalbu - lama tidak mendengar kata itu.

Di mana seseorang meletakkan kalbunya? Barangkali saya tidak mampu memberi jawaban sebab ketika saya pikir berkali-kali, saya tidak tahu di mana kalbu saya, hati saya, sebab ia bukan milik saya.

Kalau seseorang menjawab di mana letak hatinya, barangkali saya harus mengingatkan dia, "Kamu tutupi hatimu di situ, biar aman." Sungguh taruhan yang mahal kalau seseorang, bahkan dirimu sendiri, tahu di mana letak hatimu. Dunia ini mahajail, lho. Kalau ada angin yang mencuri dengar kata hatimu itu, seekor iblis akan menangkapnya. Memanfaatkan keburukan darinya.

Saya habis berdebat dengan seorang teman tentang bagaimana sastra membantu kita menghayati kehidupan. Katanya, "Orang belajar sastra 'kan harusnya menyelubungi hatinya dengan warna-warni." Ya. Ya.

Di permukaan bumi ini, cinta kasih itu warna-warni. Di dasar bumi juga. Kalau seseorang membungkus hatinya sendiri dengan kegelapan, salah. Sebab saya kira cinta bukan sesuatu yang datang dari luar diri seperti peluru cahaya yang lurus menyasar inti jiwa kita. Saya kira cinta adalah benih yang sejak mula ada di sana, tanah jiwa kita yang lapang. Seseorang suatu hari datang sebagai matahari dan hujan, menyemainya. Mengundang kupu-kupu. Kita perlu merasakannya: orang itu.

Saya bilang begitu sebab saya baru saja membebaskan diri dari trauma untuk merasakan orang lain. Barangkali trauma adalah kebaikan. Tapi kalau merawat trauma adalah memperpanjang jarak antara hatimu dan hati orang lain, salah. Merawat apapun yang menjauhkan hatimu dengan hati orang lain, salah.

Menjauh dari hati orang lain artinya menyelubungi jiwa dengan trauma itu sendiri. Jiwa yang terselubung, tidak jujur, tidak jernih, tidak bisa menghikmahi kebaikan. Tidak mungkin jatuh cinta. Nah...

Kenapa? Karena cinta itu gaib! - bukan mi instan yang mudah ditelan tapi merusak lambungmu.

Saya kira, Tuhan, yang sangat kita percaya, menyempurnakan penciptaan manusia dengan akal dan hati. Yang tidak mungkin tidak terluka, tidak tergores. Bersentuhan dengan cinta adalah bersentuhan dengan pisau. Kamu ekspert tidak sama dengan kamu kebal. Tapi kalau kamu berdarah, darahmu bisa menyuburkan tanah. Dan lukamu, akan kamu syukuri. Yang gaib bukan pada situasi bahwa darahmu menyuburkan tanah. Itu ilmiah. Yang gaib ada rasa syukurmu.

Seorang penyair menulis dalam puisinya, "...dengar dengan pikiranmu, jangan dengar pikiranmu,..." Maka tentu ia mengandaikan ada perbedaan antara mendengar dengan pikiran dan mendengar pikiran. Kalau saya mengganti variabelnya:

"Rasakan dengan hatimu, jangan merasakan hatimu."

Ada perbedaan antara merasakan dengan hati dan merasakan hati. Merasakan dengan hati mengandaikan adanya kehadiran Sang Liyan. Sementara merasakan hati, barangkali, cuma merujuk pada sendirian.

Kita hidup kenapa suka sendirian? Wong ndak enak! Selama kamu makhluk, ada penciptanya. Maka kalbu, yang tidak kita tahu atau kita tahu tempatnya, bukan milik kita sendiri. Sebab ia inti. Inti lahir dari Yang Menciptakan Inti. Makhluk hidup hanya berhak mengisi penghayatan hidupnya dengan kehidupan. Bahkan saat ia harus menghikmahi kematian. Dengan hidup, bukan dengan mati. Atau lebih naas lagi: kosong.

Merasakan inti orang lain adalah merasakan Inti-Nya. Bahkan bila di dalam dirimu hanya kamu sediakan tempat untuk Dia. Dia mewujudkan Diri bukan dalam Dirimu saja, tapi dalam Diriku, Diri Orang Lain juga. Maka terimalah Dia dalam Aku dan Orang Lain, Seluruh Dunia. Atau kamu tidak akan lengkap mencintai-Nya. Dia adalah Seluruh. Bila Dia di dalam dirimu, maka Aku juga di dalam dirimu. Menolak kehadiranku adalah menolak-Nya.

Penerimaan itu akan tetap menjadikan hati, kalbu, qolbun, -duh, saya lama tidak mendengar kata itu- sebagai rahasia yang semayam di tempat yang tepat. Kita tidak tahu di mana. Tidak punya petanya. Tidak menggambar wujudnya. Tapi kita yakin, kita tidak akan tersesat. Dia di situ. Seharusnya memancarkan warna-warni.

2020



Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...