Kalbu - lama tidak mendengar kata itu.
Di mana seseorang meletakkan kalbunya? Barangkali saya tidak mampu memberi jawaban sebab ketika saya pikir berkali-kali, saya tidak tahu di mana kalbu saya, hati saya, sebab ia bukan milik saya.
Kalau seseorang menjawab di mana letak hatinya, barangkali saya harus mengingatkan dia, "Kamu tutupi hatimu di situ, biar aman." Sungguh taruhan yang mahal kalau seseorang, bahkan dirimu sendiri, tahu di mana letak hatimu. Dunia ini mahajail, lho. Kalau ada angin yang mencuri dengar kata hatimu itu, seekor iblis akan menangkapnya. Memanfaatkan keburukan darinya.
Saya habis berdebat dengan seorang teman tentang bagaimana sastra membantu kita menghayati kehidupan. Katanya, "Orang belajar sastra 'kan harusnya menyelubungi hatinya dengan warna-warni." Ya. Ya.
Di permukaan bumi ini, cinta kasih itu warna-warni. Di dasar bumi juga. Kalau seseorang membungkus hatinya sendiri dengan kegelapan, salah. Sebab saya kira cinta bukan sesuatu yang datang dari luar diri seperti peluru cahaya yang lurus menyasar inti jiwa kita. Saya kira cinta adalah benih yang sejak mula ada di sana, tanah jiwa kita yang lapang. Seseorang suatu hari datang sebagai matahari dan hujan, menyemainya. Mengundang kupu-kupu. Kita perlu merasakannya: orang itu.
Saya bilang begitu sebab saya baru saja membebaskan diri dari trauma untuk merasakan orang lain. Barangkali trauma adalah kebaikan. Tapi kalau merawat trauma adalah memperpanjang jarak antara hatimu dan hati orang lain, salah. Merawat apapun yang menjauhkan hatimu dengan hati orang lain, salah.
Menjauh dari hati orang lain artinya menyelubungi jiwa dengan trauma itu sendiri. Jiwa yang terselubung, tidak jujur, tidak jernih, tidak bisa menghikmahi kebaikan. Tidak mungkin jatuh cinta. Nah...
Kenapa? Karena cinta itu gaib! - bukan mi instan yang mudah ditelan tapi merusak lambungmu.
Saya kira, Tuhan, yang sangat kita percaya, menyempurnakan penciptaan manusia dengan akal dan hati. Yang tidak mungkin tidak terluka, tidak tergores. Bersentuhan dengan cinta adalah bersentuhan dengan pisau. Kamu ekspert tidak sama dengan kamu kebal. Tapi kalau kamu berdarah, darahmu bisa menyuburkan tanah. Dan lukamu, akan kamu syukuri. Yang gaib bukan pada situasi bahwa darahmu menyuburkan tanah. Itu ilmiah. Yang gaib ada rasa syukurmu.
Seorang penyair menulis dalam puisinya, "...dengar dengan pikiranmu, jangan dengar pikiranmu,..." Maka tentu ia mengandaikan ada perbedaan antara mendengar dengan pikiran dan mendengar pikiran. Kalau saya mengganti variabelnya:
"Rasakan dengan hatimu, jangan merasakan hatimu."
Ada perbedaan antara merasakan dengan hati dan merasakan hati. Merasakan dengan hati mengandaikan adanya kehadiran Sang Liyan. Sementara merasakan hati, barangkali, cuma merujuk pada sendirian.
Kita hidup kenapa suka sendirian? Wong ndak enak! Selama kamu makhluk, ada penciptanya. Maka kalbu, yang tidak kita tahu atau kita tahu tempatnya, bukan milik kita sendiri. Sebab ia inti. Inti lahir dari Yang Menciptakan Inti. Makhluk hidup hanya berhak mengisi penghayatan hidupnya dengan kehidupan. Bahkan saat ia harus menghikmahi kematian. Dengan hidup, bukan dengan mati. Atau lebih naas lagi: kosong.
Merasakan inti orang lain adalah merasakan Inti-Nya. Bahkan bila di dalam dirimu hanya kamu sediakan tempat untuk Dia. Dia mewujudkan Diri bukan dalam Dirimu saja, tapi dalam Diriku, Diri Orang Lain juga. Maka terimalah Dia dalam Aku dan Orang Lain, Seluruh Dunia. Atau kamu tidak akan lengkap mencintai-Nya. Dia adalah Seluruh. Bila Dia di dalam dirimu, maka Aku juga di dalam dirimu. Menolak kehadiranku adalah menolak-Nya.
Penerimaan itu akan tetap menjadikan hati, kalbu, qolbun, -duh, saya lama tidak mendengar kata itu- sebagai rahasia yang semayam di tempat yang tepat. Kita tidak tahu di mana. Tidak punya petanya. Tidak menggambar wujudnya. Tapi kita yakin, kita tidak akan tersesat. Dia di situ. Seharusnya memancarkan warna-warni.
2020
Di mana seseorang meletakkan kalbunya? Barangkali saya tidak mampu memberi jawaban sebab ketika saya pikir berkali-kali, saya tidak tahu di mana kalbu saya, hati saya, sebab ia bukan milik saya.
Kalau seseorang menjawab di mana letak hatinya, barangkali saya harus mengingatkan dia, "Kamu tutupi hatimu di situ, biar aman." Sungguh taruhan yang mahal kalau seseorang, bahkan dirimu sendiri, tahu di mana letak hatimu. Dunia ini mahajail, lho. Kalau ada angin yang mencuri dengar kata hatimu itu, seekor iblis akan menangkapnya. Memanfaatkan keburukan darinya.
Saya habis berdebat dengan seorang teman tentang bagaimana sastra membantu kita menghayati kehidupan. Katanya, "Orang belajar sastra 'kan harusnya menyelubungi hatinya dengan warna-warni." Ya. Ya.
Di permukaan bumi ini, cinta kasih itu warna-warni. Di dasar bumi juga. Kalau seseorang membungkus hatinya sendiri dengan kegelapan, salah. Sebab saya kira cinta bukan sesuatu yang datang dari luar diri seperti peluru cahaya yang lurus menyasar inti jiwa kita. Saya kira cinta adalah benih yang sejak mula ada di sana, tanah jiwa kita yang lapang. Seseorang suatu hari datang sebagai matahari dan hujan, menyemainya. Mengundang kupu-kupu. Kita perlu merasakannya: orang itu.
Saya bilang begitu sebab saya baru saja membebaskan diri dari trauma untuk merasakan orang lain. Barangkali trauma adalah kebaikan. Tapi kalau merawat trauma adalah memperpanjang jarak antara hatimu dan hati orang lain, salah. Merawat apapun yang menjauhkan hatimu dengan hati orang lain, salah.
Menjauh dari hati orang lain artinya menyelubungi jiwa dengan trauma itu sendiri. Jiwa yang terselubung, tidak jujur, tidak jernih, tidak bisa menghikmahi kebaikan. Tidak mungkin jatuh cinta. Nah...
Kenapa? Karena cinta itu gaib! - bukan mi instan yang mudah ditelan tapi merusak lambungmu.
Saya kira, Tuhan, yang sangat kita percaya, menyempurnakan penciptaan manusia dengan akal dan hati. Yang tidak mungkin tidak terluka, tidak tergores. Bersentuhan dengan cinta adalah bersentuhan dengan pisau. Kamu ekspert tidak sama dengan kamu kebal. Tapi kalau kamu berdarah, darahmu bisa menyuburkan tanah. Dan lukamu, akan kamu syukuri. Yang gaib bukan pada situasi bahwa darahmu menyuburkan tanah. Itu ilmiah. Yang gaib ada rasa syukurmu.
Seorang penyair menulis dalam puisinya, "...dengar dengan pikiranmu, jangan dengar pikiranmu,..." Maka tentu ia mengandaikan ada perbedaan antara mendengar dengan pikiran dan mendengar pikiran. Kalau saya mengganti variabelnya:
"Rasakan dengan hatimu, jangan merasakan hatimu."
Ada perbedaan antara merasakan dengan hati dan merasakan hati. Merasakan dengan hati mengandaikan adanya kehadiran Sang Liyan. Sementara merasakan hati, barangkali, cuma merujuk pada sendirian.
Kita hidup kenapa suka sendirian? Wong ndak enak! Selama kamu makhluk, ada penciptanya. Maka kalbu, yang tidak kita tahu atau kita tahu tempatnya, bukan milik kita sendiri. Sebab ia inti. Inti lahir dari Yang Menciptakan Inti. Makhluk hidup hanya berhak mengisi penghayatan hidupnya dengan kehidupan. Bahkan saat ia harus menghikmahi kematian. Dengan hidup, bukan dengan mati. Atau lebih naas lagi: kosong.
Merasakan inti orang lain adalah merasakan Inti-Nya. Bahkan bila di dalam dirimu hanya kamu sediakan tempat untuk Dia. Dia mewujudkan Diri bukan dalam Dirimu saja, tapi dalam Diriku, Diri Orang Lain juga. Maka terimalah Dia dalam Aku dan Orang Lain, Seluruh Dunia. Atau kamu tidak akan lengkap mencintai-Nya. Dia adalah Seluruh. Bila Dia di dalam dirimu, maka Aku juga di dalam dirimu. Menolak kehadiranku adalah menolak-Nya.
Penerimaan itu akan tetap menjadikan hati, kalbu, qolbun, -duh, saya lama tidak mendengar kata itu- sebagai rahasia yang semayam di tempat yang tepat. Kita tidak tahu di mana. Tidak punya petanya. Tidak menggambar wujudnya. Tapi kita yakin, kita tidak akan tersesat. Dia di situ. Seharusnya memancarkan warna-warni.
2020
Komentar
Posting Komentar