Langsung ke konten utama

Jarak Kita dengan Keajaiban

Saya percaya keajaiban, sebab sudah ada. Namun beberapa waktu belakangan saya menyadari fakta khusus tentangnya: keajaiban akan selalu berjarak dengan kita. Sedekat apapun.

Keajaiban itu ada tapi kita tidak akan benar-benar memeluknya. Keajaiban dengan sendirinya memisahkan diri dari realita setidaknya sebagai sebuah anomali. Maka keajaiban yang lebur realita, bisa saya andaikan sebagai bukan keajaiban lagi. Ia telah menjelma realita. Dan realita ya selalu begini: logis. Biasa.

Maka saya mempercayai bahwa selalu ada jarak antara kita dan keajaiban. Ketika keajaiban menjelma pertama-tama dalam harapan kita, seharusnya kita juga menghitung seberapa besar peluang keajaiban mewujud dalam realita. Alih-alih bernafsu untuk memeluknya. Jarak yang kita bangun dalam perhitungan itulah yang akan menjaga kemurnian - kesucian - kemagisan, keajaiban dari nafsu kita itu.

Dan bila suatu hari keajaiban menjangkau kita, kita akan telah mengingat perhitungan jarak itu. Kita akan mengingatnya terus sambil memandang yang murni-suci-magis itu. Sebenarnya saya mual juga menulis "murni-suci-magis" itu. Tapi seseorang di tempat jauh yang membaca ini pasti akan diam-diam bersepakat dengan saya.

Makin hari sebenarnya makin tipis saya memandang proyeksi keajaiban dalam ruang realita yang sudah begini. Proyeksi yang murni, yang suci, yang magis, di dalam singgung sehari-hari. Bahkan seseorang yang barangkali berada dalam permenungan yang sama dengan saya, memilih untuk berputar-putar dan enggan jujur mengakui dirinya. Saya muak pada ketidakjujuran.

Namun saya dengan sungguh-sungguh berharap keajaiban pernah menyentuh siapa saja. Misalnya soal cinta. Misalnya soal seseorang yang mengunci hatinya sendiri di tempat jauh, di satu detik tidak terduga akan mendadak melenyapkan jarak menuju hatinya itu. Hatinya menjadi dekat dan terbuka. Keterbukaan hari ini adalah keajaiban. Kejujuran juga. Adalah keajaiban. Cinta juga. Ajaib. Proyeksi saya semakin tipis akan hal-hal itu.

2020

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...