Saya percaya keajaiban, sebab sudah ada. Namun beberapa waktu belakangan saya menyadari fakta khusus tentangnya: keajaiban akan selalu berjarak dengan kita. Sedekat apapun.
Keajaiban itu ada tapi kita tidak akan benar-benar memeluknya. Keajaiban dengan sendirinya memisahkan diri dari realita setidaknya sebagai sebuah anomali. Maka keajaiban yang lebur realita, bisa saya andaikan sebagai bukan keajaiban lagi. Ia telah menjelma realita. Dan realita ya selalu begini: logis. Biasa.
Maka saya mempercayai bahwa selalu ada jarak antara kita dan keajaiban. Ketika keajaiban menjelma pertama-tama dalam harapan kita, seharusnya kita juga menghitung seberapa besar peluang keajaiban mewujud dalam realita. Alih-alih bernafsu untuk memeluknya. Jarak yang kita bangun dalam perhitungan itulah yang akan menjaga kemurnian - kesucian - kemagisan, keajaiban dari nafsu kita itu.
Dan bila suatu hari keajaiban menjangkau kita, kita akan telah mengingat perhitungan jarak itu. Kita akan mengingatnya terus sambil memandang yang murni-suci-magis itu. Sebenarnya saya mual juga menulis "murni-suci-magis" itu. Tapi seseorang di tempat jauh yang membaca ini pasti akan diam-diam bersepakat dengan saya.
Makin hari sebenarnya makin tipis saya memandang proyeksi keajaiban dalam ruang realita yang sudah begini. Proyeksi yang murni, yang suci, yang magis, di dalam singgung sehari-hari. Bahkan seseorang yang barangkali berada dalam permenungan yang sama dengan saya, memilih untuk berputar-putar dan enggan jujur mengakui dirinya. Saya muak pada ketidakjujuran.
Namun saya dengan sungguh-sungguh berharap keajaiban pernah menyentuh siapa saja. Misalnya soal cinta. Misalnya soal seseorang yang mengunci hatinya sendiri di tempat jauh, di satu detik tidak terduga akan mendadak melenyapkan jarak menuju hatinya itu. Hatinya menjadi dekat dan terbuka. Keterbukaan hari ini adalah keajaiban. Kejujuran juga. Adalah keajaiban. Cinta juga. Ajaib. Proyeksi saya semakin tipis akan hal-hal itu.
2020
Keajaiban itu ada tapi kita tidak akan benar-benar memeluknya. Keajaiban dengan sendirinya memisahkan diri dari realita setidaknya sebagai sebuah anomali. Maka keajaiban yang lebur realita, bisa saya andaikan sebagai bukan keajaiban lagi. Ia telah menjelma realita. Dan realita ya selalu begini: logis. Biasa.
Maka saya mempercayai bahwa selalu ada jarak antara kita dan keajaiban. Ketika keajaiban menjelma pertama-tama dalam harapan kita, seharusnya kita juga menghitung seberapa besar peluang keajaiban mewujud dalam realita. Alih-alih bernafsu untuk memeluknya. Jarak yang kita bangun dalam perhitungan itulah yang akan menjaga kemurnian - kesucian - kemagisan, keajaiban dari nafsu kita itu.
Dan bila suatu hari keajaiban menjangkau kita, kita akan telah mengingat perhitungan jarak itu. Kita akan mengingatnya terus sambil memandang yang murni-suci-magis itu. Sebenarnya saya mual juga menulis "murni-suci-magis" itu. Tapi seseorang di tempat jauh yang membaca ini pasti akan diam-diam bersepakat dengan saya.
Makin hari sebenarnya makin tipis saya memandang proyeksi keajaiban dalam ruang realita yang sudah begini. Proyeksi yang murni, yang suci, yang magis, di dalam singgung sehari-hari. Bahkan seseorang yang barangkali berada dalam permenungan yang sama dengan saya, memilih untuk berputar-putar dan enggan jujur mengakui dirinya. Saya muak pada ketidakjujuran.
Namun saya dengan sungguh-sungguh berharap keajaiban pernah menyentuh siapa saja. Misalnya soal cinta. Misalnya soal seseorang yang mengunci hatinya sendiri di tempat jauh, di satu detik tidak terduga akan mendadak melenyapkan jarak menuju hatinya itu. Hatinya menjadi dekat dan terbuka. Keterbukaan hari ini adalah keajaiban. Kejujuran juga. Adalah keajaiban. Cinta juga. Ajaib. Proyeksi saya semakin tipis akan hal-hal itu.
2020
Komentar
Posting Komentar