*Catatan penjurian 2 ini ditulis oleh Bramantio sebagai Juri Anggota LCN DKS 2019 - Urbanhype
Lomba ini digagas oleh Dewan Kesenian Surabaya sebagai bagian dari rangkaian ikhtiar memelihara kehidupan bersastra kita. Lomba ini juga sebuah wadah untuk mengakomodasi perkembangan sastra terkini, menjawab pertanyaan ihwal ke mana arah sastra kita, sekaligus menumbuhkan harapan bahwa senantiasa ada generasi yang berproses dengan tekun mencipta karya.
Kami membaca 125 cerpen yang lulus persyaratan administrasi tanpa mengetahui siapa pengarangnya. Seperti jamaknya sebuah lomba, kami menentukan sejumlah kriteria sebagai panduan dalam menentukan cerpen-cerpen pemenang, sebagai berikut: keselarasan bentuk dan isi, kesegaran interpretasi atas tema urbanhype, dan kecakapan berbahasa Indonesia.
Secara umum, cerpen-cerpen yang kami baca menghadirkan sensitivitas bahkan sensibilitas yang khas tentang manusia dan dunia. Kekhasan di sini kami tengarai merupakan penanda sebuah generasi yang beroperasi sedemikian rupa sebagai bentuk adaptasi terhadap keniscayaan sifat alamiah zaman. Bagaimanapun, hal yang demikian tentu tidak mutlak hanya berlaku pada generasi mutakhir, tetapi juga berlaku pada generasi-generasi sebelumnya yang turut meliuk sedemikian rupa mengarus masa.
Lebih lanjut, ada sejumlah cerpen yang secara struktur utuh dan memuat gagasan segar tentang manusia dan dunia, tetapi nuansa perkotaan hampir tidak terasa di dalamnya. Sebaliknya, juga ada cerpen yang menghadirkan kota secara gamblang seolah memindahkan begitu saja konteks ke dalam teks. Sayangnya, kota di dalam cerpen-cerpen tersebut terasa sekadar tempelan untuk menjadikan cerpen memenuhi tema lomba ini. Pada cerpen-cerpen yang sama pun tidak terasa kesegaran interpretasi atas kehidupan perkotaan sehingga kami seperti membaca tulisan-tulisan berlabel “Aktivitasku Hari Ini.” Selain itu, tidak sedikit cerpen yang bermasalah dalam hal kebahasaan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, kami memilih Sepuluh Cerpen Favorit, Lima Cerpen Impresif, dan Juara Utama sebagai berikut.
Sepuluh Cerpen Favorit
- Transkrip Tabu (4) Memanfaatkan sudut pandang komputer, cerita membuka diri selapis demi selapis terkait aktivitas si pemilik piranti dan interaksinya di dunia maya yang berimbas pada dunia nyata dengan cara tragis. Kehadiran sejumlah diksi dalam cerpen ini memperlihatkan semangat generasi kekinian yang melek media bahkan fasih dalam seluk-beluk sibernetika, tetapi bisa jadi gagap ketika berhadapan dengan manusia lain.
- Semester Ini Saka Tetaplah si Tambun (31) Menceritakan kemonotonan hidup remaja urban sekaligus kedirian perempuan yang tidak sepenuhnya ditentukan oleh diri sendiri, melainkan oleh hal-hal eksternal. Segala yang sebenarnya baik-baik saja menjadi goyah ketika tokoh sentral mulai menggunakan pertimbangan-pertimbangan awam terkait pilihan hidupnya. Gawai dan media sosial pun menjelma racun bagi sebagian manusia.
- Sebuah Usaha Menulis Cerita Pendek (33) Menyoal salah satu sisi gerakan literasi yang sedang ramai diagendakan di kota-kota, cerita berfokus pada seorang pemuda dengan sebuah visi. Komunitas sastra tidak lagi menekuni baca dan tulis, melainkan latah membangun kubu-nyaris-politis dan memperdebatkan hal-hal yang semestinya tidak perlu diperdebatkan. Tokoh sentral pun menutup cerita dengan membanting setir keras-keras menyisakan pahit di pangkal lidah.
- Sebuah Firman yang Menetas Lantas Menetes dalam Kepala (52) Mengisahkan ulang fanatisme keberagamaan yang memakan korban, cerita tidak mengambil jalur yang itu-itu saja, melainkan menghadirkannya sebagai impresi-impresi nyaris sureal. Mengaburkan batas antara kewarasan dan kegilaan, antara yang nyata dan yang imajiner, cerpen ini secara implisit menyodorkan cermin bagi siapa pun yang menjadikan keyakinan sebagai pengikis kemanusiaan.
- Sarapan Pengundang Tangis dan Tawa (32) Terbagi ke dalam tiga bagian, cerita bergerak dari satu tokoh ke tokoh lain dengan permasalahannya masing-masing. Sebuah potret masyarakat urban kekinian yang tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya saling terkait satu sama lain sebagai bagian dari kota yang sama. Ringan, kocak, miris, keseharian, sekaligus memicu renungan ihwal menjadi warga sebuah kota. Tragedi dan komedi hanyalah masalah sudut pandang dan senantiasa memiliki sepercik kualitas yang satu pada yang lain.
- Go-Kill (42) Bangun dunia yang ditawarkan cerpen ini semacam semesta paralel dari dunia kita yang telah dimanjakan oleh gawai beserta aplikasi layanan-ini-itu. Aspek kinetik terasa paling kentara pada cerita tentang usaha membunuh presiden ini. Go-Kill tidak sekadar mengacu pada aplikasi kekinian, tetapi sekaligus pada kegilaan, pada gokil itu sendiri. Terasa segar dan menyenangkan, seperti bernostalgia dengan cerita silat, tetapi dengan sentuhan teknologi mutakhir berlatar kekinian, dengan akhir cerita yang melegakan.
- Nudis Club (44) Judul cerpen ini nyatanya bukanlah jantung cerita yang diusungnya. Dengan caranya yang mau tidak mau mengingatkan akan dialog sepasang tokoh pada Seribu Kunang-kunang di Manhattan, cerita justru menelanjangi salah satu tokoh sentral yang tidak bertelanjang tentang kehidupan dan impiannya. Gesekan dan tegangan antara masa lalu dan masa kini, negeri sendiri dan negeri orang, terus terjaga hingga akhir cerita. Bermuara pada sebuah pertanyaan tentang siapakah sebenarnya diri kita kini yang ke mana-mana membawa beban dari masa lalu.
- Etika Merebut Hati Mertua (70) Sebuah komedi gelap tentang manusia-manusia kota, sosialita, dan pemanjat kelas-sosial. Cerita ini terasa akrab, tetapi tetap menghadirkan sentilan yang sesekali mengejutkan tentang betapa manusia mampu melakukan yang mungkin tidak terbayangkan sekaligus begitu lemah bahkan terkalahkan di bawah bayang-bayang materi, status sosial, dan terlebih lagi media sosial.
- Kisah Patah Hati yang Picisan (97) Cerpen ini menjadikan sastra dunia sebagai pijakan awal sekaligus ruas-ruas penyusun tulang punggungnya. Tidak sekadar memosisikan dirinya sebagai metakomentar atas karya-karya tersebut, tokoh sentral adalah perwujudan sekaligus kritik atas fenomena kesastraan kontemporer: penulis-hantu dan sastra sebagai komoditas. Namun, lebih daripada itu, di bagian terdalamnya cerpen ini adalah tentang luka sekaligus kemandegan individu yang berkiblat pada sastra sebagai perpanjangan dampak sebuah zaman yang menjadikan gawai sebagai sumber kebahagiaan dan nestapa.
- Apartemen Tengah Kota (122) Mengambil bentuk fragmen-fragmen, cerita terbagi menjadi dua bagian besar. Bagian pertama adalah cerita tentang asal mula ikan terbang memiliki sayap, dan bagian kedua yang terbagi menjadi bagian-bagian lebih kecil tentang individu-individu penghuni sebuah apartemen. Dengan tempo cepat, cerpen ini adalah sebuah gambaran pergerakan manusia-manusia kota, pergerakan secara harfiah maupun dalam semesta maya yang sarat informasi dan asumsi. Kontras antara tempo dan konten bagian pertama dan kedua menjadi semacam alarm tentang manusia-manusia yang mulai menikmati kehilangan dirinya sendiri.
Lima Cerpen Impresif
- Joe dan Clara (91) Dengan manjadikan ruang publik dan ruang privat sebagai latar tempat, cerpen ini mengoperasikan kedua tokoh sentralnya dengan berpijak pada percakapan santai sekaligus merenggut. Ada yang terasa karib pada kisah keduanya, tentang kawan lama yang bertemu kembali, tentang hal-hal yang belum tuntas di masa lalu. Juga tentang identitas yang oleh karenanya keduanya bertemu, berpisah, bertemu kembali, dan mengada untuk satu sama lain di sepetak tanah kota tanpa lampu sorot.
- Angin Subuh (34) Terasa ngelangut sekaligus mencekam dengan caranya sendiri. Seperti ketukan-ketukan pelan tanpa jeda, cerita bergerak menyerupai sebuah lingkaran pertemuan-perpisahan-pertemuan orang-orang asing di sisi kota yang terlalu gelap, menggelisahkan, bahkan mungkin tidak dikenali warganya. Menelusuri jalanan kota dini hari, sopir taksi dan penumpanganya berdialog ihwal sebagian hidup mereka dan berakhir dengan memuaskan, meskipun bukan berarti menyenangkan.
- Di Bawah Pohon Trembesi (24) Memanfaatkan sudut pandang yang berselang-seling antara pemilik kafe dan gelandangan, cerita menghadirkan oposisi kelas-kelas sosial perkotaan. Betapa orang-orang yang tampak berjarak sejatinya begitu dekat dalam keseharian. Mereka saling memberikan pelabelan tanpa menyadari bahwa subjek-subjek yang berseberangan dengan mereka sejatinya memiliki permasalahannya masing-masing yang tidak melulu berkaitan dengan materi.
- Amin si Anak Punk (18) Cerita tentang kehidupan serbasusah anak punk yang disampaikan dengan lancar, wajar, dan tanpa nada melankolis. Pencerita membangun semacam biografi mini tokoh sentral dan menghadirkan citra yang tidak semata-mata hitam-putih seperti yang selama ini menjadi stigma subkultur punk sebagai dampak penampilan mereka. Simpati bahkan empati adalah yang dituju oleh cerpen ini, dan beberapa di antaranya berhasil diraihnya.
- Dobol (22) Cerita tentang penjual kata-kata yang meskipun jelas membual, nyatanya tetap mendatangkan kesenangan bagi siapa pun yang meminta kata-kata darinya. Nadanya jenaka, tetapi terasa miris dengan selipan-selipan tragedi sosial dan politik, belum lagi penutupnya yang destruktif. Ini seperti menyindir masyarakat yang serbalatah atas banyak hal tanpa pernah tahu yang sedang mereka lakukan.
Juara Utama
Cityscape (83) Judul cerpen ini adalah entitas berbadan tiga: judul daftar lagu, gelanggang permainan (arkade), sekaligus lanskap kota itu sendiri. Cerita bergerak ulang-aling tanpa ketergesaan-khas-manusia-kota sekaligus berkelindan antara seorang pendatang yang menetap dan seorang turis menjelang kepergian atau kepulangannya, antara nostalgia dan yang kekinian, antara kota sebagai ruang banal superprosais sekaligus transendental puitis, juga dialog tengah malam hingga dini hari adem-ayem tentang pilihan, perjalanan, dan persinggahan. Hiruk-pikuk arkade dan kemonotonan jam-jam kerja nyatanya tidak sepenuhnya bisa menyembunyikan kebaikan kota yang merekah selepas tengah malam, juga jiwa-jiwa yang hidup dan berharap dari lampu-lampu kota sekaligus melakukan kontemplasi akan kedirian dan keberadaan mereka.
Demikianlah pilihan kami. Bagi kami, keenam belas cerpen pemenang dalam Lomba Cerpen Dewan Kesenian Surabaya 2019 memperlihatkan semangat zaman yang meletup di sana-sini menjelang akhir dasawarsa-kedua 2000-an. Secara tidak langsung, cerpen-cerpen tersebut sekaligus merupakan dokumentasi bebas melalui mata, kacamata, dan gawai para pengarang yang telah mengakrabi kota dan segala sesuatu yang hidup di dalamnya.
Dewan Juri
Budi Darma
Mashuri
Komentar
Posting Komentar