Langsung ke konten utama

Musim di Surga

Seorang anak laki-laki sembilan tahun, dulu pernah memulai puisinya dengan pertanyaan begini: di surga sekarang sedang musim apa? 

Dalam sebuah obrolan santai dengan seorang teman perempuan, saya menyadari ada empat batas ruang sosial yang kabur -atau rusak- hari ini: ruang privat, ruang komunal, ruang publik, dan ruang universal. Kami membedakan arena 'publik' dan 'universal' sebab hari ini ada media sosial - yang melabeli konflik-konflik universal (cenderung profan) sebagai konflik publik (cinta, tuhan, dan perdamaian misalnya), dan sialnya menggeser yang publik menjadi nonsens. Misalnya kebakaran hutan, perubahan iklim, gerakan ekologi, dan lain-lain.

Kalau seorang laki-laki di sebelahmu membicarakan perubahan iklim, rencana perjalanan NASA ke Mars, atau itikad membuang sampah pada tempatnya sejak dari kamar ke jalanraya, kenalkan padaku.  

Saya tahu di luar sana banyak orang sudah bergerak lebih serius untuk konflik-konflik publik semacam itu. Tapi saya membicarakan orang-orang di sini. Di sebelah saya. Di rumah. Di ruang kerja. Di jalan yang saya lewati setiap pagi dan sore.

Saya sedang merasa jadi alien yang harus segera pulang. Ke sana. Ke luar angkasa.

Saya heran, sebenarnya bagaimana kakek-nenek saya mendidik saya sampai saya tumbuh demikian berbeda dari orang-orang ini, bahkan orang tua saya sendiri. Beberapa teman sebenarnya mengalami kesunyian yang sama. Tapi kami seperti terjebak dalam lingkaran maze yang taruhan untuk keluar dari sana bukanlah kehilangan dirimu sendiri tapi kehilangan orang-orang yang kamu sayangi. Sungguh lebih mudah kehilangan diri sendiri daripada kehilangan orang-orang yang kamu sayangi.

Saya menulis begini dengan harapan sebagai makhluk sosial saya menemukan jalan untuk bersepakat. Orang-orang seperti sungai bergerak dari kiri ke kanan. Dan saya, saya menyeberang. Saya tidak melawan arus, saya hanya menuju sisi hutan yang lain. Saya menyadari bahwa selamanya saya tidak bisa jadi bagian dari kubik partikel air ini. Sesekali saya biarkan tubuh saya terbawa ke kanan, tapi segera saya tegakkan lagi. Sebab tujuan saya bukan ke situ. Saya ingin menanam pohon. Bukan hanyut ke laut. Saya 'kan perempuan yang selalu dibayang-bayangi suara air terjun dan telaga di atas gunung yang membentuknya. Ngapain saya ke laut?

Saya sering bertemu arus sungai ini. Setiap kali saya dipaksa meninggalkan pohon yang saya rawat, saya dipaksa menyeberang sungai lagi. Saya cuma ingin menetap dan merawat sebuah pohon. Saya tidak  punya lahan di bumi, maunya ke luar angkasa. Atau ke surga?

Ah, seorang anak laki-laki sembilan tahun, dulu pernah memulai puisinya dengan pertanyaan begini: di surga sekarang sedang musim apa? Pembukaan yang kontemplatif. Saya terdiam waktu membacanya pertama kali. Apakah ia sedang merasa jadi alien, tidak mengenal bumi?

Barangkali surga adalah tanah lapang yang sungai-sungainya tenang dan kalem. Setiap musim menumbuhkan pohon yang cocok. Kita bebas menjadi petani yang bahagia! Tapi saya sedang membicarakan bumi dalam tulisan ini 'kan... dan rencana NASA ke Mars bulan Juli nanti cuma sanggup mengangkut nama-nama, belum orangnya. Di surga sekarang sedang musim apa, di bumi ini sebenarnya sedang musim apa? Saya harus menegakkan tubuh lagi. Tapi seandainya saya harus hanyut di sungai ini, mending saya ngapain? Di tengah ombang-ambing yang serempak dan riuh, dibayang-bayangi bahwa saya semakin jauh dari air terjun. Saya tidak mau jadi mayat pohon yang tumbang oleh petir dan terkatung-katung itu.

2019

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...