Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2019

Absence

Hari ini saya berkendara jauh dari rumah untuk mengikuti tes kemahiran bahasa Indonesia. Ada yang sedang ingin saya isengi (iseng, sebab keseriusan hanya hak Tuhan). Ternyata tesnya tidak semudah yang saya kira. Bagus juga ya, ada uji kebahasaan begitu dan kalau bisa diterapkan menjadi tes dasar di tiap keperluan tentu akan jadi lain, kemampuan dan pandangan awam tentang bahasa Indonesia itu. Tapi saya tidak hendak membahas bahasa Indonesia. Saya tidak juga hendak membahas sesuatu khusus yang saya jumpai di jalan. Panas matahari, jalan berbelok tiba-tiba ke swalayan sementara awalnya ingin mengunjungi sebuah candi, jeruk lemon yang saya beli, atau, apa-apa yang ada. Saya tidak sedang ingin membahas apa-apa yang ada. What is being absence. Saya ingat ada kalimat semacam itu dalam buku Jonathan Culler, Structuralist Poetic , 1975. Tentang puisi lirik, kata Culler, puisi itu lengkap dalam dirinya, termasuk juga segala yang tidak ada. Bagaimana dengan membaca yang ada kita bisa diara...

Kota Mati

Hutan Ketakutan yang saya tulis empat tahun lalu itu ada. Kota yang Tak Akan Tumbuh Kembali juga. Plaza itu juga. Mereka di sini. Kota ini sudah jadi kota mati untuk saya. Saya jadi kayak mati. Saya merasa jalannya sudah habis, tidak akan tumbuh lagi. Setiap saya bangun saya berharap akan menemukan kelokan yang luput. Tapi ternyata saya telah menjadi satu-satunya peziarah yang setia menyusur makam demi makam. Saya membaca buku-buku, setelah mereka selesai saya butuh seseorang untuk membaginya. Mereka seperti berpantulan di ruang pikiran saya. Tidak ada gunanya. Saya bisa tetap di sini, kalau seseorang atau sesuatu menyelamatkan saya dari kepala saya sendiri. Sebuah kota mati. 2019

Ilapat

Belakangan kesaktian saya kembali. Setelah sempat ngamuk dan nggrundel, "Han, aku mau bisik-bisik dari Surga!" Semingguan lalu saya bermimpi naik lift, ke sebuah kamar yang disebut King Royal. Sampai hari ini saya merasa belum ketemu maksudnya. Ada lagi, mimpi lain, saya pergi belanja dengan seorang teman dan terjebak dalam antrian panjang di kasir. Tiga hari lalu kami mendadak ketemu di ruang dekanat kampus. Ia bilang, "aku sudah terancam daftar hitam."  Ada lagi, seorang teman berkali-kali berpesan, "kamu saja yang temani aku." Ternyata dianya sakit. Karena tidak mengacuhkan mimpi itu, saya jadi tombok lihat dia sekarat selama lebih dari seminggu. Tapi tidak semua mimpi itu firasat tertentu kan ya? Saya sendiri tidak tahu mana yang alamat mana yang bukan. Bisa saja karena alasan tidak penting seperti kangen misalnya. Tidak penting. Saya sering menahan diri agar tidak serta-merta dikatai ikut campur urusan orang lain. Agar tidak menggangu. Lagi pu...

3 Pagi

Suatu hari jam-jam ini akan direnggut. Gigil yang saya nikmati sebelum subuh menjadi. Sebuah lingkaran daya, tumbukan antarwaktu. Sebuah masa kejut, distorsi dari Januari yang mendadak Desember dalam puisi "Buat Ning" yang ditulis Sapardi. Saya kira sebenarnya dunia ini sudah demikian lowongnya memberi kita kelonggaran untuk hidup nikmat seperti apa yang kita angankan. Cuma, tidak semua orang lahir dengan kesempatan kompromi yang sama. Ada orang-orang yang dibebaskan dari pertimbangannya, ada yang tidak bisa. Bagi yang tidak bisa, itu adalah pilihan untuk menghapus diri sendiri. Kenapa kita diberi kebaikan hati? Dan kepedulian, untuk tidak meninggalkan seseorang di belakang. Kadang ada sebuah ruang yang sama sekali tidak bisa kita tutup pintunya. Atau ini hanya karena kita terlalu takut dan meragukan hubungan-hubungan kita. Jam 3 pagi yang saya sukai, kokok ayam samar-samar dan bayangan ribuan mimpi orang-orang sedang mengambang di udara luar sana. Merasakan bahwa dal...

Dua Puisi Lama

Menuju laut sedang deru itu jauh, Kanda akan sampaikah kita menyerkap sunyinya bila tak dapat kuurai samudra bila tak sanggup kaucegah karang-karang pecah? tapi sekali ini, jangan kaugugurkan anak-anak purnama  sebelum masanya, kelak  jalanan itu akan diziarahi keasingan sungai dan sajak-sajak hijau tanpa muara Surabaya, 2013 Sulaman tapi kau masih mencari selipan kata di antara jelujur benang pada kain itu; yang menyita waktumu, yang memburamkan matamu yang melukis garis di antara alismu yang jarumnya melukai telunjukmu: lentik, manis, dan gemetar Surabaya, 2013 Ditulis untuk memenuhi tugas pertama dari Suhu Indra.

Surat Ke-sekian yang Masih Belum Bisa Diantar

Dalam dua puluh empat jam sehari, tidak selama dua puluh empat jam itu aku rindu padamu. Kadang, suatu pagi aku bangun dan merasa lega sebab sedetik yang lalu kita bertemu dalam mimpiku. Gambar mimpi yang terpotong-potong, bisa mengganggu karena seketika tidak bisa aku bedakan mana pertanda mana sakit cinta. (Duh, aku jadi ndangdut!) Dan jam-jam selanjutnya menelan kita dalam kesibukan masing-masing (kan?). Meski sedang jadi pengangguran, aku punya terlalu banyak kegenitan di luar rumah. Orang-orang suka memanggil namaku. Aku suka kau yang memanggil namaku. Dan di antara suara-suara itu, jarang sekali ada suaramu. Aku juga, memanggil nama-nama lain sepanjang hari. Tapi aku paling suka memanggil namamu. Saking sukanya kau mungkin bisa sampai terganggu. Dalam jam-jam itu, kadang terlintas, kita bisa saja tidak saling membutuhkan. Kita bisa makan sendiri, mengobati flu sendiri, tidur sendiri. Atau makan dengan orang lain, mengobati flu dengan orang lain, dan tidur dengan orang lain. B...

Sajak Kalau Aku Cemburu

kalau aku cemburu kota ini mengerucut di bibirku jalanan pun terlahir dalam rupa paling buruk dan kasar sebuah pasar kekejian di mana setiap bunyi saling menyahut kutukan duh, cahaya, hijau merkuri, pohon-pohon tegak membentuk pagar antara kita – orang-orang tertegun menatap angin berubah di pelataran plaza – menjelma sepasang mata pisau dalam mimpi dan aku terluka tanpa darah sementara kewarasan terpencil jauh di sebuah taman kering pendengaranku terdesak di jalur migrasi lebah aku hilang menuju sarang kekosongan adakah aku bunyi terakhir sayap yang dikepakkan mencipta badai di sebuah kamar yang pernah hangat temaram adakah lidahku, pikiranku, mimpi kelaparan akan madu embun air mata suci yang membawakan seluruh sari malam adalah mimpi tanpa gemintang pada hatiku kucium kematian tapi cinta adalah kotak kaca menangkal peluru maut ke arahku dan aku terperangkap mencintaimu, sementara jalanan menjelma medan laga hasratku bersembunyi dalam ketakl...

Hopla