Langsung ke konten utama

Sajak Kalau Aku Cemburu

kalau aku cemburu kota ini mengerucut di bibirku
jalanan pun terlahir dalam rupa paling buruk dan kasar
sebuah pasar kekejian di mana setiap bunyi saling menyahut kutukan
duh, cahaya, hijau merkuri, pohon-pohon tegak
membentuk pagar antara kita – orang-orang tertegun
menatap angin berubah di pelataran plaza – menjelma sepasang mata
pisau dalam mimpi dan aku terluka tanpa darah

sementara kewarasan terpencil jauh di sebuah taman kering
pendengaranku terdesak di jalur migrasi lebah
aku hilang menuju sarang kekosongan
adakah aku bunyi terakhir sayap yang dikepakkan
mencipta badai di sebuah kamar yang pernah hangat temaram

adakah lidahku, pikiranku, mimpi kelaparan akan madu
embun air mata suci yang membawakan seluruh sari malam
adalah mimpi tanpa gemintang

pada hatiku kucium kematian tapi cinta adalah kotak kaca
menangkal peluru maut ke arahku dan aku terperangkap
mencintaimu, sementara jalanan menjelma medan laga
hasratku bersembunyi dalam ketaklukan, menonton puluhan jiwa
terbang melintas di hadapan, mereka titik cahaya hijau dan lembut
seperti kapuk pecah di malam hari, merambati pelan langit
jiwa mereka menggantikan penghuni langit, puluhan jiwa terbebas
di antara puluhan jiwa sekarat
siasatmu mengikat jiwa-jiwaku yang sekarat

kematian yang murni dan memuaskan, bilakah datang padaku – duh, jam kota
dengarkan ia menempati dada seperti tumbukan jagal

kalau aku cemburu, kota ini adalah ciumanku yang panjang padamu
yang terjatuh di jalanan ketika segaris muslihat seperti bintang berekor
luntur dari langit barat, menyekat seperti tangan begal di leher orang putus asa


2017


Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...