Langsung ke konten utama

Surat Ke-sekian yang Masih Belum Bisa Diantar

Dalam dua puluh empat jam sehari, tidak selama dua puluh empat jam itu aku rindu padamu. Kadang, suatu pagi aku bangun dan merasa lega sebab sedetik yang lalu kita bertemu dalam mimpiku. Gambar mimpi yang terpotong-potong, bisa mengganggu karena seketika tidak bisa aku bedakan mana pertanda mana sakit cinta. (Duh, aku jadi ndangdut!)

Dan jam-jam selanjutnya menelan kita dalam kesibukan masing-masing (kan?). Meski sedang jadi pengangguran, aku punya terlalu banyak kegenitan di luar rumah. Orang-orang suka memanggil namaku. Aku suka kau yang memanggil namaku. Dan di antara suara-suara itu, jarang sekali ada suaramu. Aku juga, memanggil nama-nama lain sepanjang hari. Tapi aku paling suka memanggil namamu. Saking sukanya kau mungkin bisa sampai terganggu.

Dalam jam-jam itu, kadang terlintas, kita bisa saja tidak saling membutuhkan. Kita bisa makan sendiri, mengobati flu sendiri, tidur sendiri. Atau makan dengan orang lain, mengobati flu dengan orang lain, dan tidur dengan orang lain. Bisa saja. Tapi diam-diam aku jadi ABG SMA yang manja dan tidak dewasa. Diam-diam aku ingin selalu makan denganmu, ingin selalu mengobati flu denganmu, ingin selalu tidur denganmu. Seorang guru pasti akan menghukumku.

Kalau kau tahu bahwa aku senakal ini, apa kau akan berubah pikiran? Bahwa aku sama sekali bukan perempuan sehat dan jernih. Aku seorang anak yang suka berjalan digandeng bahkan digendong. Yang suka diajak beli gulali dan naik bianglala. Atau ke pasar, sarapan bubur manis dan pulang membawa tiga kilo manggis. Aku sama sekali tidak dewasa.

Dan jam-jam memaksaku tidak menuruti hatiku. Tapi setiap setelah hari selesai, aku jadi ingat seharusnya aku rindu padamu. Atau kalau mendadak waktu seperti berjalan di luar diriku, tidak bisa aku ikuti, aku jadi rindu padamu. Atau kalau ada saja hal lucu dan remeh di jalan, atau potongan puisi di instagram, atau suara hujan, obrolan orang-orang, atau salah satu huruf di plat nomor mobil yang lewat menyalipku dari kanan, atau seseorang yang sedang menelepon orang lain di seberang sana yang salah satu suku kata namanya kebetulan sama denganmu, atau saat tiba-tiba seorang anak sekolah berlari dan berteriak memanggil temannya dari jauh, "...!" ah, aku pasti langsung rindu padamu.

Hal-hal seperti itu tidak menghampiriku dalam dua puluh empat jam penuh. 

2019

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...