Langsung ke konten utama

Absence

Hari ini saya berkendara jauh dari rumah untuk mengikuti tes kemahiran bahasa Indonesia. Ada yang sedang ingin saya isengi (iseng, sebab keseriusan hanya hak Tuhan). Ternyata tesnya tidak semudah yang saya kira. Bagus juga ya, ada uji kebahasaan begitu dan kalau bisa diterapkan menjadi tes dasar di tiap keperluan tentu akan jadi lain, kemampuan dan pandangan awam tentang bahasa Indonesia itu.

Tapi saya tidak hendak membahas bahasa Indonesia. Saya tidak juga hendak membahas sesuatu khusus yang saya jumpai di jalan. Panas matahari, jalan berbelok tiba-tiba ke swalayan sementara awalnya ingin mengunjungi sebuah candi, jeruk lemon yang saya beli, atau, apa-apa yang ada. Saya tidak sedang ingin membahas apa-apa yang ada.

What is being absence. Saya ingat ada kalimat semacam itu dalam buku Jonathan Culler, Structuralist Poetic, 1975. Tentang puisi lirik, kata Culler, puisi itu lengkap dalam dirinya, termasuk juga segala yang tidak ada.

Bagaimana dengan membaca yang ada kita bisa diarahkan kepada yang tidak ada, bagaimana kita memasuki yang tidak ada melalui yang ada, bagaimana yang ada ternyata hadir demi yang tidak ada.

Beberapa hari lalu saya dihina mati-matian oleh sebuah puisi dalam Mata Jendela karya Sapardi, "Sarang". Sebuah puisi pendek khas Sapardi tapi tidak terkenal - iya, tidak terkenal. Dalam puisi itu dihadirkan yang ada: suara angin - yang mencari sarangnya. Lalu sebuah larik: kaulihatkah gelengan pohon setiap kali ditanya?

Ya Tuhan. Saya mendadak kapok! Merasa dipecundangi pohon-pohon. Bahwa sejak purba mereka hidup lebih absurd dari Sisipus. Betapa centil dan tengilnya. Tiap kali saya menyawang ke rerimbun hijau itu, saya seperti mendengar jawaban: tidak tahu, tidak tahu. Saya bayangkan rok payung yang hijau mengembang: seorang perempuan berlari dikejar pertanyaan. Tidak tahu, tidak tahu, katanya.

Kasihan angin.

Di sepanjang jalan berangkat dan pulang tadi, berapa pohon saya lewati, berapa kali angin bertanya: kau tahu di mana sarangku?

Sapardi menutup puisi itu dengan makian yang lebih verbal lagi:

kau rupanya memang tak mampu membayangkan
betapa indah dan sia-sianya setiap pencarian

Saya jadi terbang ke puisi Sapardi yang lain, "Bunga Randu Alas". Di sana hadir yang ada: angin kemarau yang jatuh cinta pada bunga randu yang merekah dan membuatnya membayangkan bara sisa. Mengingat "Sarang" dan "Bunga Randu Alas" sekaligus, saya jadi masuk ke dalam yang tidak ada. Mungkin memang semua angin yang bersuara telah jatuh cinta pada pohon yang disapanya setiap malam hari. Meski pohon itu hanya selalu menjawab tidak tahu, tidak tahu. Mungkin begitu angin jadi tak pernah mengeluh dalam perjalanan mahapanjang ini. Sebab justru saat ia mencari yang tidak ada. Sebab yang tidak ada membawanya pada yang ada, yang membuatnya suka jadi sejuk.

Byuh, Gusti, saya mendadak mentolo. Tidak sanggup melanjutkan catatan ini. Semoga saya didamaikan dengan yang tidak ada. Saya penuh keburukan kalau sedang memikirkan yang tidak ada.

2019

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...