Oleh Nanda Alifya Rahmah Menyusur jejak teks dalam dirinya, Aziz Manna menoleh ke belakang, melihat seorang anak lelaki dalam kelompok hadrah, anak-anak sebayanya duduk bersila dalam gelombang tetabuh, saling adu keras menyanyikan puji-pujian untuk seorang kekasih yang senantiasa jauh dan senantiasa dekat. Anak laki-laki tersebut, kata Aziz Manna, tidak suka membaca. Premis bahwa "penulis yang baik adalah pembaca yang baik" ternyata tidak melulu mengindikasikan adanya sejarah pengalaman baca dini yang dimulai sejak usia kanak-kanak. Seperti yang Aziz Manna alami misalnya. Dalam bincang Notula dan Tandabaca #5, Aziz menyebut dirinya terlambat menyadari bahwa membaca itu penting dan perlu. Masa kecilnya tidak dijejali oleh buku-buku. Meski demikian, Aziz biasa terlibat dalam aktivitas menyimak dongeng dan pitutur yang keluarganya bangun dalam benang tradisi keislaman. Baru di usia sekolah menengah ataslah Aziz mulai menggandrungi bahwa pengalaman membaca menyediakan leb...
Saya terusik oleh kritik Deleuze pada Strukturalisme. Tuduhannya barankali benar, bahwa pengagungan strukturalisme pada struktur pada akhirnya membuka arus kajian pada hal-hal yang sebenarnya telah melampaui struktur: metastruktur. Gangguan itu membuat saya penasaran menelusuri kalau-kalau ada video ceramah Prof. Jonathan Culler di Yutub. Baru kali ini saya kepikiran mengkhayalkan berdiskusi langsung dengan Prof. Culler tentang perkembangan puisi lirik Indonesia. Menonton Prof. Culler ceramah tentu tidak lebih baik dibanding membaca tawaddu buku-buku beliau yang cemerlang. Namun di tengah video itu saya diingatkan kembali pada satu poin dasar yang telah diuraikan dalam -mahabuku puisi lirik pertama- Structuralist Poetics (mahabuku puisi lirik kedua adalah Theory of The Lyrics yang juga ditulis oleh Prof. Culler). Disebut oleh Prof. Culler dalam video itu tentang posisi masa lampau dan masa lalu dalam puisi lirik. Bahwa, naratif selalu soal apa yang terjadi selanjutnya, dan lirik...