Oleh Nanda Alifya Rahmah
Dari sekian poin catatan selama dan pasca bincang-bincang bersama Bramantio, pertanyaan "apa saja yang saya baca selama ini" barangkali telah menjangkit kepala kita seumpama awan hitam di awal musim hujan. Pertanyaan itu menggugah sekaligus meresahkan. Sebab ia mendesak jawaban, tetapi menampakkan pula betapa jauh jalan yang mesti kita susuri untuk menjawabnya. Kita mesti putar balik, menyusur isi kepala kita sendiri.
Berangkat dari 5 buku favoritnya, Bram bisa menjejaki riwayat bacanya paling penting setidaknya dimulai pada masa sekolah menengah pertama. Secara sadar. Merunut bagaimana apa-apa-yang-dibacanya-sebelum memengaruhi apa-apa-yang-dibacanya-kemudian. Maka dengan mudah kita tangkap bahwa bagi Bramantio kesadaran akan riwayat pembacaan itu penting.
Pentingnya kesadaran tentang riwayat baca dan pengaruhnya bukan saja terletak pada keberhasilan seorang pembaca mengenali topik-topik apa saja yang "nyaman" bagi kepala, hati, dan jiwanya. Namun lebih jauh lagi, apa-apa yang kita baca itu memengaruhi pola pikir, pola atau cara kita memahami sesuatu - khususnya cara kita memahami sebuah bacaan (buku) baru.
Kesadaran tersebut adalah pijakan paling bawah untuk memulai proses membaca yang sehat, proses mencerna bacaan dengan sehat, dan pada akhirnya memaknai dengan lebih baik. Terutama ketika kita menghadapi teks yang tidak dibangun dengan jalur narasi wajar, sebutlah teks sastra.
Topik sastra - dengan menggembirakan- menjadi topik teratas yang menjadi favorit para responden dalam bincang-bincang Notula dan Tandabaca #1 ini. Namun, sebagai pembaca sastra barangkali sedikit saja dari kita yang telah memulai proses membaca dengan pijakan kesadaran serupa Bramantio.
Optimalisasi proses membaca, secara sederhana itulah yang hendak dicapai dengan membangun kesadaran akan riwayat pembacaan dan pengaruhnya. Saat kita berhadapan dengan teks, kesadaran itu akan membantu kita mengkritik: 1. apa isi kepala kita sebelum membacanya, 2. apa isi kepala kita saat membacanya, dan 3. apa isi kepala kita setelah membacanya.
Praktik tiga pertanyaan tersebut memungkinkan terbangunnya prismatik ruang refleksi yang barangkali sulit diuraikan atau dibayangkan. Namun efek yang diciptakan ruang prismatik itulah yang nantinya akan bisa naik ke permukaan pikiran kita dalam bentuk "kebermanfaatan membaca" bagi kita pribadi, secara personal, sebagai seorang pembaca -manusia- biasa. Untuk menghindari kesalahtangkapan, atau bahkan menguapnya bacaan kita sesaat setelah kita membacanya. Dan agar kita tidak berakhir dengan "tidak mendapatkan apa-apa" setelah menutup buku.
Pada akhirnya, keberhasilan bincang-bincang Notula dan Tandabaca #1 ini dapat diukur dengan setidaknya satu orang pembaca yang saat ini, sekarang, tengah bertanya pada dirinya sendiri: siapakah saya saat membaca? Meski belum tentu ia berhasil menemukan jawabannya. Namun, saya pribadi percaya, ketertundaan kita menjawab itulah yang justru akan terus-menerus memacu kita untuk mencari tahu, untuk terus membaca buku dan diri kita sendiri.
*Tulisan ini adalah Notulabaca 1 dari perbincangan "Riwayat Pembacaan dan Bagaimana Itu Memengaruhimu".
Komentar
Posting Komentar