Langsung ke konten utama

Bercermin pada Coby: Sebuah Propaganda

 

Untuk kelompok bajak lautku, Yusniar, Adnan, Adam,

dan yang lain yang masih tercecer karena timeskip.

 

8 Oktober, 20 hari sebelum Hari Sumpah Pemuda, protes omnibus law seluruh Indonesia.

 “Berpihak pada sebuah keputusan dengan menutup sebelah mata pada efek lapangan, jelas menunjukkan betapa sempit pertimbangan kita.”

1: Pemerintah mengesahkan RUU Cilaker, entah dengan motif utama apa, tapi pemutusan yang tidak terbuka jelas akan menimbulkan spekulasi. Poin-poin yang nyata dinilai berbagai pihak tidak adil, usaha musyawarah yang diputus, itu semua akan menciptakan rasa terjajah, dan pada akhirnya: protes. Ya Pemerintah, kenapa kayak Tenryuubito, kenapa mesti menciptakan situasi yang berpotensi besar ke arah protes massa? Sepertinya hal itu tidak dipertimbangkan.

2: Menyulut seruan protes, dengan –tentu saja- peluang anarkisme. Negara ini punya lebih banyak rakyat yang secara individu tidak bertanggung jawab akan dirinya sendiri dibanding sebaliknya, ujungnya: perusakan lebih buruk, rantai kebencian yang tidak terputus. Sebagai rakyat, kita tidak cukup sehat untuk mencegah diri kita dari godaan yang datang dari dalam jiwa kita sendiri. Anarkisme dan kebencian, sepertinya hal itu juga tidak dipertimbangkan.

Dua situasi tersebut menunjukkan bahwa kita cacat di kedua sisi. Keputusan yang cacat direspon dengan reaksi yang tak kalah cacatnya. Lalu, kita bisa mengaku bahwa sudut pandang kita bijak itu dari mana?

9 Oktober, 19 hari sebelum Hari Sumpah Pemuda, seorang perempuan menghilang bersama hape yang sedang diservis.

“Kemanusiaan saya tidak menemukan tempat untuk bersimpati pada tumpukan tong kosong.”

Di sebuah scene anime favorit kita semua, “One Piece”, sebuah peperangan besar antara pemerintah global dan para bajak laut menggugah seorang pemuda penakut untuk mempertanyakan kembali apa itu kemanusiaan. Coby, berteriak di tengah peperangan, sebelum Sakazuki menembakkan magma, “Sudah cukuuup! Jangan saling bertarung lagi. Banyak nyawa terbuang percuma!” Air matanya seperti pancuran. Seluruh medan perang mendadak bungkam, menuduh Coby.

Tapi kita, di hadapan layar, tahu:

Keadilan tidak pernah meminta kita untuk membelanya dengan cara-cara yang keliru.

Barangkali isi pikiran saya sedemikian galak, terutama pada mereka yang mengatasnamakan diri sebagai pemuda. Tetapi saya tidak bisa mengingkari bahwa situasi akademik dalam kurun 5 tahun terakhir ini membuat saya diam-diam sadar bahwa rakyat tidak lagi bisa asal berharap pada pemuda seperti dulu bangsa ini berharap pada Moh. Yamin dan kawan-kawannya.

Tidak bisa asal berharap. Artinya, hal tersebut bukan dalam batasan generalisasi. Tentu sebagian pemuda layak diharapkan. Tentu! Namun, ada baiknya kita mengakui ketimpangan perbandingan di kalangan pemuda hari ini agar kita tidak malah menyiram minyak pada kayu bakar.

Saya beri ilustrasi untuk menangkap maksud saya tentang “generalisasi dan kesadaran untuk tidak asal berharap”:

200 orang dari Desa A adalah komplotan perampok. 134 orang sisanya adalah petani.

Bayangkan jika Anda adalah seorang petani di Desa A. Tentu seorang petani dari Desa A tidak terima jika seluruh dunia melabeli Desa A adalah Desa Perampok. Dan keberatan si petani tidak dapat kita sebut sebagai tindakan tidak simpatik kepada para korban perampokan. Kita tentu menolak segala bentuk perampokan. Namun keberadaan 134 petani itu menghendaki kita untuk memberi “jarak” antara para perampok dan yang bukan. Jarak itu berguna agar kita selalu ingat untuk memperlakukan tiap orang dari Desa A dengan penilaian yang jernih. Bukan serta-merta melabeli jidatnya.

Contoh lagi, 300 sastrawan laki-laki di sebuah negara adalah hidung belang, 100 sisanya adalah korban perempuan. Tentu tidak adil jika kita meniadakan suara 100 korban itu, dan saya pribadi tidak merasa mampu jika me- -eits, ini contoh yang sensitif. Saya ganti,

Seperti situasi anime “One Piece”, katakanlah ada 195 kelompok bajak laut bertindak merampas harta penduduk, sementara 14 kelompok yang lain mengarungi laut untuk menyuarakan kebebasan dan penolakan tirani global, tanpa merampas harta siapapun. Apakah kita akan menyisihkan 14 kelompok itu? Sulit.

Semakin jauh selisih perbandingan antara yang positif dan tidak, membuat kita semakin sulit memandang dengan jernih. Kita, manusia biasa, bukan di antara dua golongan bajak laut itu. Dalam kasus ini, kita tidak akan mudah mempercayai seorang bajak laut. Itulah, ketika berhadapan dengan fakta lapangan tentang anarkisme dan sebagainya, saya jadi sulit berharap pada para pemuda. Di sisi sebelah, juga begitu, saya sulit menerima Tenryuubito (eh) pemerintah.

Jadi, saya ulang, sekian jumlah pemuda tentu bisa diharapkan. Namun kita mesti mempertimbangkan fakta perbandingan jumlah pemuda layak diharapkan dengan yang tidak, agar kita tidak hanya menyiram minyak pada kayu bakar di situasi buruk ini. Lalu kita harus bagaimana? Sebentar, tulisan saya belum selesai.

Ketika saya bercermin pada Coby, saya tidak merasa layak bicara tentang bangsa ini sebab sebagai pemuda saya tidak bisa menyandingkan diri dengan Mohammad Tabrani, Sunario Sastrowardoyo, Soegondo Djojopoespito dan teman-teman. (Bukan karena mereka laki-laki, ya ampun!) Realita hidup saya ya memang nggak segitu. Wong waktu kuliah saya mahasiswa separoh-separoh. Dan dalam arena kuasa skala negara – kuasa, itu juga riil, saya tidak berada pada posisi-posisi yang memungkinkan untuk melakukan yang Tabrani lakukan: lahirkanlah bahasa Indonesia itu! (Tabik!)

Saya bukan pemuda layak contoh. Tapi sialnya saya belajar humanisme. Berijazah. Mau tidak mau saya jadi gelisah ketika semakin tipis kejernihan kita untuk menjeda antara sisi pertama dan kedua, antara rakyat dan pemerintah, antara keadilan dan panggung sandiwara.

Di tengah remahan ini, saya cuma berani bercermin pada Coby. Seorang tokoh fiksi yang sembunyi dalam jiwa kita masing-masing: seorang pemuda kacangan yang sebenarnya lebih suka hidup bergelimang kenyamanan dan romantisme yang cukup. Dan saya pun malu pada Coby, yang dengan berani mencegah Sakazuki, seluruh Marineford, akhirnya mendengar suara paling lirih di tengah peluru dan bom: tolong berhenti. Tolong berhenti.

Padahal ia cuma fiksi. Demi apa saya malu pada fiksi.

Pola konflik antara pemerintah dan rakyat di negara ini begitu-begitu saja sejak kita kembali pada bentuk negara demokrasi. Padahal Aristoteles mengkritik, demokrasi hanya akan berjalan di dalam polis yang sehat. Seperti kata para pemuda awal bangsa ini, betapa dalam dan teliti mereka membaca demokrasi:

“4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyaratan/perwakilan.”

Dalam kalimat itu, demokrasi (kerakyatan) bukan dipimpin oleh wakil rakyat. Demokrasi dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Sulit. Sungguh. Kemarin kita tahu, kebanyakan wakil rakyat tidak memiliki hikmat kebijaksanaan. Namun sebelum itu, sebelum angka 4, kita punya beban yang sama, kemanusiaan, yang adil dan beradab.

Demi apapun, kita tinggal di negara yang tidak adil kan? Saya sepakat deh. Para anggota dewan itu, memang manusia-manusia yang tidak adil ya? Sepakat. Namun apakah ketidakadilan memberi kita tiket untuk menjadi tidak beradab? Apakah di negeri dengan rakyat yang modelnya begini ini, seruan aksi demo adalah solusi yang arif? Saya kira kita sama dengan mereka.  Kita semua jauh dari hikmat kebijaksanaan.

Sama.

Padahal kita menyebut diri belajar dari sejarah. Padahal untuk menjadi pemerintah, orang-orang mesti jadi manusia dulu. Padahal untuk menjadi rakyat, kita juga mesti menjadi manusia dulu. Sebelum sila keempat, ada sila kedua dan ketiga dulu. Tapi sepertinya sulit mempertimbangkan kemanusiaan saat jadi anggota DPR. Sulit mempertimbangkan kemanusiaan saat jadi rakyat.

Saya tidak tahu kenapa Coby bisa dan kita tidak. Tapi itu tidak penting, sebab tulisan ini adalah teks propaganda. Saya tidak sedang mengajak siapapun untuk mempertimbangkan kemanusiaan, apalagi solusi kenegaraan. Tulisan saya ini berujung pada satu kesimpulan,

“Tontonlah One Piece.”

Seperti kata seorang kawan di sebuah warung setelah rasan-rasan, tontonlah “One Piece”. Kita tidak perlu jadi anggota DPR atau rakyat untuk nonton “One Piece”.

 

2020

 

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...