Langsung ke konten utama

Laku Modern

 



Oleh Nanda Alifya Rahmah 



Menyusur jejak teks dalam dirinya, Aziz Manna menoleh ke belakang, melihat seorang anak lelaki dalam kelompok hadrah, anak-anak sebayanya duduk bersila dalam gelombang tetabuh, saling adu keras menyanyikan puji-pujian untuk seorang kekasih yang senantiasa jauh dan senantiasa dekat. 


Anak laki-laki tersebut, kata Aziz Manna, tidak suka membaca.


Premis bahwa "penulis yang baik adalah pembaca yang baik" ternyata tidak melulu mengindikasikan adanya sejarah pengalaman baca dini yang dimulai sejak usia kanak-kanak. Seperti yang Aziz Manna alami misalnya. Dalam bincang Notula dan Tandabaca #5, Aziz menyebut dirinya terlambat menyadari bahwa membaca itu penting dan perlu. Masa kecilnya tidak dijejali oleh buku-buku. Meski demikian, Aziz biasa terlibat dalam aktivitas menyimak dongeng dan pitutur yang keluarganya bangun dalam benang tradisi keislaman. Baru di usia sekolah menengah ataslah Aziz mulai menggandrungi bahwa pengalaman membaca menyediakan lebih dibanding aktivitas serapan yang selama ini ia lakoni: melihat dan mendengar.  


Dari pengalaman Aziz itu, ternyata bisa: melihat dan mendengar, baru kemudian membaca.  


Namun melihat dan mendengar yang dirujuk bukan sebatas laku reseptif. Yang Aziz maksud di situ adalah melihat dan mendengar yang kognitif di mana seorang audiens aktif mencerna informasi dari teks dialaminya. Ya, informasi yang dialami, sebab dalam cerita Aziz, teks terlebih dulu hadir dalam bentuk pengalaman, bukan cetak tulisan. 


Pijakan awal tersebut sangat memengaruhi kegemaran baca Aziz di kemudian hari. Aziz lebih menikmati teks-teks yang bersifat minimal atau sederhana dari segi penyampaian, tetapi membuka arena luas untuk menyelami citraan dan permenungan. Teks-teks yang mengantar pada keluasan imajinasi dan pemahaman. 


Namun bagaimana laku melihat dan mendengar memberi pengaruh  terhadap laku membaca? 


Dari cerita Aziz, dapat dipahami bahwa melihat dan mendengar yang kognitif menyediakan kesempatan untuk berlatih "menjahit" atau menghubungkan (kepingan) teks yang diterima otak dalam bentuk gambar. Dalam konteks ini gambar bukan dalam satuan dua dimensi, tetapi seperangkat lengkap dengan kualitas ruang, bau, bunyi, tekstur, dan momen. Artinya, berlatih melihat dan mendengar yang kognitif adalah berlatih mencerna ruang, bau, bunyi, tekstur, dan momen. Dalam kaitannya dengan laku membaca, serangkaian latihan ini membentuk keahlian visualisasi.  


Aziz pun bersentuhan dengan teks tulis, tepatnya ketika ia ditugasi menerjemahkan kitab kuning. Tradisi, lagi-lagi berperan, menyusupkan paksaan halus dalam dirinya untuk mau membaca. Maka di sebuah bait Aziz Manna menemukan keasyikan, lebih dari aktivitas melihat dan mendengar. Membaca memberinya kesempatan menyusun sendiri ruang visual dalam kepala, lalu menjahitnya, meski tidak melulu mendapat sebuah pesan hikmah. 


Keasyikan. Kata Aziz, semestinya membaca dimulai tanpa memberi bahasa beban tuntutan akan makna. Bahasa tidak perlu punya bayangan yang mesti direka wujud pastinya.  Biarkan teks adalah teks, tanpa prasangka. Sehingga membaca dapat menjadi ruang sekaligus momen dialog yang jernih. Sebab lugu, tanpa prasangka. 


Titik berangkat yang demikian akan menunjang kemaksimalan bahasa dalam menghadirkan diri menstimulus daya visual otak kita. Terima saja dulu bahasa, apa adanya. Sebab membaca bagaimanapun merentang  jarak ketaklangsungan ekspresi yang relatif lebih panjang dibanding melihat dan mendengar. Dan dalam spasial jarak itulah kita berlatih menyelam citraan dan permenungan. Sebab imajinasi adalah jembatan pemahaman. Kita memahami kata kursi dan galaksi sebab kita membayangkannya. Kita akan mungkin memahami sebuah kursi di pusat galaksi, sebab kita mencoba membayangkannya.


Maka bagi Aziz Manna, membaca tetap satu langkah di depan melihat dan mendengar. "Melihat dan mendengar itu laku primitif. Membaca itu laku modern," kata Aziz Manna memercayai  semestinya seseorang  bergerak dari laku melihat dan mendengar ke laku membaca. Dari primitif ke modern.  Sebuah perjalanan yang layak dicoba.


Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...