Langsung ke konten utama

Ketakberwaktuan dan Puisi

Saya terusik oleh kritik Deleuze pada Strukturalisme. Tuduhannya barankali benar, bahwa pengagungan strukturalisme pada struktur pada akhirnya membuka arus kajian pada hal-hal yang sebenarnya telah melampaui struktur: metastruktur. Gangguan itu membuat saya penasaran menelusuri kalau-kalau ada video ceramah Prof. Jonathan Culler di Yutub. Baru kali ini saya kepikiran mengkhayalkan berdiskusi langsung dengan Prof. Culler tentang perkembangan puisi lirik Indonesia. 

Menonton Prof. Culler ceramah tentu tidak lebih baik dibanding membaca tawaddu buku-buku beliau yang cemerlang. Namun di tengah video itu saya diingatkan kembali pada satu poin dasar yang telah diuraikan dalam -mahabuku puisi lirik pertama- Structuralist Poetics (mahabuku puisi lirik kedua adalah Theory of The Lyrics yang juga ditulis oleh Prof. Culler). Disebut oleh Prof. Culler dalam video itu tentang posisi masa lampau dan masa lalu dalam puisi lirik. Bahwa, naratif selalu soal apa yang terjadi selanjutnya, dan lirik adalah soal apa yang terjadi sekarang.

O, iya, ya. Saya teringat pada subbab dalam Structuralist Poetics yang menjelaskan puisi lirik sebagai momen epifani. Waktu dalam puisi tidak bekerja sebagaimana dalam prosa dan drama. Pagi, siang, malam, hari ini, nanti, semua adalah konstruksi puitik. Sebab teks puisi adalah momen yang terus bergerak di masa sekarang sebagai sebuah wacana yang senantiasa di-lampau-kan oleh wacana tersebut. Maka sebagai wacana, teks puisi mesti dibaca dalam ketakberwaktuan

Uraian tersebut mestilah sulit dibayangkan operasinya bagi pembaca yang asing pada konsep jarak deiktik dan kerja metaforik puisi. Yang mengganggu saya selama dan pasca-nonton video ceramah tersebut adalah terkait poin ketakberwaktuan itu. 

Bila diasumsikan bahwa semua piranti dalam teks memiliki makna atau setidaknya pengaruh terhadap makna, lalu, apa makna ketakberwaktuan? Atau, apa pengaruhnya ketakberwaktuan?

Pertanyaan saja lebih ditujukan pada makna atau pengaruh ketakberwaktuan secara umum. Saya kerap membaca atau mendengar orang-orang berdiskusi tentang waktu. Kemudian hari ini saya baru menyadari bahwa saya sedemikian tertarik pada satu entitas yang ternyata tidak berwaktu - atau memiliki hubungan kewaktuan yang rumit dan aneh. 

Ketakberwaktuan. Ketakberwaktuan. Apa gunanya, memahami ketakberwaktuan? Apa gunanya ada ketakberwaktuan?

2020

Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...