Langsung ke konten utama

Poneglyph yang Tercecer

 Thanks for the memories.. thanks for the memories.. (Fall Out Boys)


Hal kecil lainnya yang saya terima adalah bahwa saya orang yang serakah, dengan ingatan jangka pendek yang demikian buruk, saya diam-diam bercita-cita untuk mengingat setiap detil peristiwa, setiap kata dari buku yang saya baca, setiap warna yang menggugah emosi. 

Suatu hari seseorang memuji cara pandang saya pada sejarah, ruang-ruang dunia yang luput tapi ada, korelasinya buat hari kini. Bagaimana saya sedemikian terpesona: betapa yang terjadi sebelumnya bisa berpengaruh pada hal-hal kemudian. Betapa dunia ini adalah keterhubungan. 

Namun saya kira pujian itu amat berlebihan, sebab bagaimana saya memandang sejarah bukan suatu hal khusus yang bersumber pada kebaikan diri. Hasrat untuk memeluk ingatan dan masa lalu itu datang dari terowongan memori saya yang pendek. Yang tidak mampu mewujudkan hasrat itu. Penghargaan pada masa lalu lahir dari fakta gagal menggenggam masa lalu.

Ketika saya terbangun suatu hari setelah membaca sebuah buku, saya menyadari betapa sedikit kita menengok punggung kita sendiri. Kita, saya, mengumpulkan banyak foto di folder gawai, menyusun ribuan kata dalam surat-surat yang terpencar. Kita, semua manusia. 

Dalam seluruh tahun kehidupan dunia ini, seluruh peninggalan itu masih tercecer. Seperti potongan poneglyph yang misterius. Apa sebenarnya yang ingin kita sampaikan?

Dan mesti saya terima ketidakmampuan saya merangkai keping-keping puzzle itu. Sementara waktu terus maju dan dengan cara apa suatu hari kepala saya akan aus. Saya dihantui bila kesadaran ini akan jadi sia-sia pada akhirnya. Sebuah peluang yang gagal terpenuhi. Sebuah tugas yang luput dilaksanakan. Harus dengan apa saya sampaikan, saya tinggalkan pesan?

Saya membayangkan bila tulisan-tulisan di laman blog ini pada akhirnya tak bisa menjangkau pembacanya. Satu pun. Seorang saja. Seperti semua surat cinta yang bertepuk sebelah tangan. Seperti semua kerinduan yang tercegah, tercegat. Terlarang. 

Pada akhirnya kata-kata hanya bunyi. Ning nang gong. Gema energi yang lepas dan tak menumbuk bidang pantul atau peredam apapun. Tak menemukan telinga. 

Apa yang ingin saya perbuat dengan seluruh isi kepala ini?


2020




Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...