Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2019

Menonton Orang Jatuh

Ada yang jatuh. Kenapa kamu cuma nonton? Sepertinya dua tahun lalu. Dalam sebuah tugas negara, saya berkendara motor dengan seorang teman laki-laki, dari Surabaya ke Lamongan. Kami berangkat pagi buta. Sepanjang jalan teman saya itu terkantuk-kantuk. Tapi kami harus memaksa. Kami, bukan saya saja atau dia saja. Urusan kami memang musti diselesaikan sebelum siang. Jadi pukul 8 kami harus sampai tujuan. Tugas negara berjalan lancar. Sebelum masuk dhuhur kami sudah mengambil rute pulang. Jalan Surabaya-Lamongan adalah bagian jalur maut pantura. Saya tawarkan pada teman saya itu untuk istirahat dulu. Tapi dia enggan. Alasannya, tadi sudah ngopi.  Naas benar, kami kecelakaan padahal sudah 7/8 perjalanan. Aspal yang kami lewati meliyut bekas ban truk. Teman saya entah karena ngantuk, entah karena tak berdaya, memasrahkan setir motornya ke udara. Motor oleng ke kiri. Saya terpental delapan meter ke bibir gorong-gorong. Sedetik setelah berhenti tergulung-gulung, saya bangun be...

Catatan Penjurian Lomba Cerpen Nasional DK-Surabaya 2019 - Urbanhype* (1)

*Catatan penjurian 1 ini ditulis oleh Budi Darma sebagai Ketua Juri LCN DKS 2019 - Urbanhype Dalam sebuah diskusi tidak resmi beberapa tahun yang lalu, disimpulkan bahwa kehidupan masyarakat urban ada kalanya mirip kehidupan Mickey Mouse. Kerja Mickey Mouse adalah melompat-lompat, lari ke sana ke mari, bersembunyi di tempat ini dan itu, lari lagi, melompat-lompat lagi, tanpa henti. Ada kesan bahwa Mickey Mouse melompat-lompat demi kepentingan melompat-lompat itu sendiri, lari ke sana ke mari demi kepentingan lari ke sana dan ke mari itu sendiri, dan bersembunyi tidak lain adalah demi kepentingan bersembunyi itu sendiri. Semuanya boleh dikatakan tanpa makna, dan inilah yang dinamakan absurditas, hidup mengulang-ulang hal-hal sama demi kepentingan mengulang-ulang itu sendiri. Kalau kita mereprentasikan diri kita sebagai Mickey Mouse, apakah benar bahwa aktivitas kita sehari-hari pada hakikatnya hanya mengulang-ulang aktivitas yang sama? Dengan kata lain, benarkah kita terbelenggu...

Bukankah Surat Cinta Ini Ditulis ke Arah Siapa Saja?*

Seorang laki-laki mengajak saya menyanyikan puisi. "Kamu hafal "Surat Cinta"?" Saya menggeleng. Dalam kondisi  setengah sehat begini bagaimana bisa saya menyanyikan "Surat Cinta". Apalagi surat cinta yang ditujukan kepada siapa saja. Ah. Kami memilih puisi lain. Sambil menyanyi saya melihat langit, mendung badai. Mendadak dada saya gemetar. Kami tengah check sound untuk keperluan sebuah festival. Saya membatin, kita akan merayakan sesuatu di tengah hujan. Sesuatu dengan efek italik. Sebab sejujurnya saya menghilangkan diri beberapa waktu ini. Sebab sekarang saya sedang berusaha menghadirkan diri lagi. Saya sedang tidak tertarik pada keramaian jenis apapun. Tapi karena kalau dirunut festival ini bagian buah pohon kenakalan saya, saya memilih prihatin. Dalam kondisi prihatin itulah saya menyanyi. Tapi ya tentu saja menyanyikan "Surat Cinta" memberi gangguan tertentu pada udara yang melintas dari hidung ke paru-paru saya. Setelah beberap...

Berdoa

02.50 Tulisan ini dimulai sebab hujan turun. Saya terbangun ke sekian kali di malam-malam yang tidak berguna. Beberapa bulan lalu saya habiskan waktu dini hari untuk membaca dan berdoa. Barangkali keteguhan saya sedang beristirahat. Malam ini saya terbangun lagi. Saya sampai di paragraf ini ketika jendela kamar saya di tutup dari luar. Padahal saya sengaja membiarkannya tetap terbuka.  Berdoa. Saya punya ikan kesayangan yang bisa bicara. Kemarin malam saya bilang padanya, "aku tidak pernah berdoa tiap menjelang tahun baru masehi. Tapi di akhir tahun ini aku sungguh berharap tahun depan segalanya akan membaik." Saya ngeri juga membayangkan rincian dari 'segalanya'. Sebab teramat menyedihkanlah banyak hal dalam pengalaman saya tahun ini. Tapi barangkali Tuhan berbaik hati menutup tiap-tiap yang buruk dengan tiap-tiap yang bermanfaat. Tidak luput satu pun. Si ikan membalas saya, "ya itulah yang baik. Doa." Dia sebagian kebaikan baru yang saya dapat...

Laki-laki Muda Clair de Lune

Seorang laki-laki sangat muda merekomendasikan Clair de Lune untuk saya dengarkan. Muda sekali, 14 tahun. Akhir-akhir ini sering saya temui generasi yang segaris dengannya memiliki tingkat kedewasaan setara dengan laki-laki 25 tahun. They have sense of manners. Cuma begitu, kadang mereka panggil saya Mbak, kadang panggil saya Bu. Laki-laki muda Clair de Lune ini misalnya. Kami sedang kelas tambahan. Di awal belajar, ia bertanya, "Mbak ngantuk?" Saya jawab iya. Ia lalu meminta maaf dengan gaya candaan yang kikuk, maaf karena mengganggu. Saya lalu memintanya untuk memutar musik. Ia punya playlist very random songs i like di pemutar musiknya. Katanya tiap lagu punya kenangan. Kalau diputar ada yang sedang dipanggil ulang dalam kepalanya. Kami lalu lebih banyak saling bertukar judul lagu yang disuka daripada belajar bahasa Indonesia. ”Ini terkunci, polanya gimana?" "N. N kecil." Lalu ia berdehem mengatakan saya orang pertama yang tahu kunci ponselnya. ...

Hopla