Langsung ke konten utama

Menonton Orang Jatuh

Ada yang jatuh. Kenapa kamu cuma nonton?

Sepertinya dua tahun lalu. Dalam sebuah tugas negara, saya berkendara motor dengan seorang teman laki-laki, dari Surabaya ke Lamongan. Kami berangkat pagi buta. Sepanjang jalan teman saya itu terkantuk-kantuk. Tapi kami harus memaksa. Kami, bukan saya saja atau dia saja. Urusan kami memang musti diselesaikan sebelum siang. Jadi pukul 8 kami harus sampai tujuan.

Tugas negara berjalan lancar. Sebelum masuk dhuhur kami sudah mengambil rute pulang. Jalan Surabaya-Lamongan adalah bagian jalur maut pantura. Saya tawarkan pada teman saya itu untuk istirahat dulu. Tapi dia enggan. Alasannya, tadi sudah ngopi. 

Naas benar, kami kecelakaan padahal sudah 7/8 perjalanan. Aspal yang kami lewati meliyut bekas ban truk. Teman saya entah karena ngantuk, entah karena tak berdaya, memasrahkan setir motornya ke udara. Motor oleng ke kiri. Saya terpental delapan meter ke bibir gorong-gorong. Sedetik setelah berhenti tergulung-gulung, saya bangun berdiri seperti klep otomatis dan membatin, "Saya bangun." 

Saya langsung mengarahkan mata ke motor. Teman saya itu terbaring telungkup dua meter dari motor. Tidak kunjung bangun. Orang-orang ramai berhenti. Saya sambil berjalan pelan memanggil nama teman saya itu. Orang-orang entah berkata apa lalu membalikkan tubuh teman saya. Waktu badannya diangkat, saya lihat darah mengalir dari mulutnya. 

Tenang. Cerita ini tidak berakhir mengerikan, kok. Tapi waktu itu saya shok luar biasa. Saya ingat saya berteriak dan terduduk lalu bangun lagi dan berkata kepada semua orang, "Pak, tolong teman saya. Tolong teman saya." 

Bajingan. Saat saya berkata begitu, semua orang, sepuluh atau dua puluh yang mengerumuni kami, saling pandang dengan sudut wajah yang tertarik ke dalam. Mereka lalu saling berbisik satu sama lain, "Duh, saya buru-buru ini." "Wah, dimana ya puskesmas. Saya nggak tahu daerah sini." dan semacamnya.

"Tolong teman saya." 

Akhirnya ada satu bapak yang mau mengantar kami ke puskesmas dekat situ. Cuma satu.

Karena hari itu saya jadi menyesal mengingat berapa kecelakaan motor yang saya tahu dan saya tidak pernah ikut berhenti karena melihat sudah banyak orang yang berhenti dan berpikir artinya pasti banyak orang yang menolong. Sejak hari itu saya tahu ternyata orang-orang berhenti hanya untuk menonton. Sejak hari itu saya selalu berhenti untuk memastikan sudah ada orang yang menolong.

Sore ini misalnya, sebuah motor penuh penumpang menabrak tukang bubur keliling di jalanan arah pulang saya. Saya tahu persis kejadiannya. Si motor yang salah. - Harus ada yang disalahkan 'kan? -Ternyata pengendaranya gadis belia, membonceng ibu dan dua adiknya.

Ada tiga motor menghampiri, motor 1, motor 2, motor saya. Saya menunggu di belakang dua motor itu sebab mereka ada di tengah. Orang-orang di atas motor menanyai Bapak Tukang Bubur. Saya menunggu mengira mereka mau membantu. Ternyata cuma sekadar bertanya. 

Saya heran luar biasa. Padahal rombong tukang bubur itu remuk. Padahal ada dua anak menangis, seorang ibu gemetar, dan seorang gadis belasan tahun nanap memeluk tangannya sendiri. 

"Pun, Pak. Niki diangkat riyin mawon rombonge." (Sudah, Pak. Ini diangkat dulu saja rombongnya) Waktu melihat saya dan Bapak Tukang Bubur mencoba mengangkat rombong, seorang bapak  membantu kami. Lalu datang beberapa ibu mengomel. 

Saya hampiri gadis belia itu. Si tersangka yang masih tidak beranjak. Berdiri kaku sambil memeluk tangannya. 

"Sini dilihat dulu tangannya," dia agak enggan lalu memberikan tangan kanannya pada saya. Telapaknya menggemuk. Saya urut sekali tarikan sambil mengucap mantra. Dia mengernyit. Agak kempis. "Nanti dikompres, ya. Sudah, nggak papa." Dia menatap saya masih tanpa kedip. Saya berikan dia pada ibunya.

Saya tidak tahu dari mana budaya menonton ini. Saya pernah berbagi ke beberapa ornag dan mereka semua mengiyakan. Kalau ada yang jatuh, orang-orang hanya menonton. Meski sudah kelihatan jelas, ada rombong yang remuk, ada anak yang menangis, ibu yang gemetar dan seorang gadis ketakutan. Orang-orang hanya menonton. Aduh! Saya ingin ngamuk ke semua orang. Ke kamu juga! 

Yang jatuhnya jelas saja cuma ditonton, apalagi jatuh-jatuh yang lain. Sudah dibilang saya jatuh. Ibarat rombong, sudah remuk. Isi saya tumpah, rusuh sejalan-jalan. Tapi - Astaghfirullah - kamu cuma nonton!


2019


Komentar

Hopla

Postingan populer dari blog ini

NIRLEKA

Nirleka, begitu disebutnya rentang masa purba sampai ± abad 4 M saat nusantara belum diberkahi pengetahuan aksara. Berakhir dengan penemuan sebuah batu yupa kerajaan Kutai. Nirleka cenderung sulit dibaca bagi para sejarahwan. Di ruang-ruang kuliah ia masih menjadi kamar gelap yang menggoda. Minim bukti, minim jejak. Kaya rahasia. Namun nirleka tidak hanya terjadi di wilayah nusantara saja. Seluruh dunia, di tempat-tempat yang pernah tercatatkan peradaban, pernah mengalami masa buta aksara. Memang sedikit yang berhasil mengisi sejarah puncak keberaksaraan. Nusantara mungkin salah satunya meski sejarah hari ini belum benar-benar jelas memaparkan kronologinya. Maka dalam ketidaktahuan bersama ini, menarik mereka-reka apa yang terjadi di masa nirleka. Saat itu manusia tidaklah sama sekali tanpa bahasa. Pembicaraan tetap terjadi. Perdebatan apalagi. Tapi itulah, sedikit sekali catatannya. Jika dunia kita yang diam ini pernah merekam, maka yang ramai adalah bunyi, dan tentu: ingatan....

Satu Dunia

Saya bertanya-tanya dari mana datangnya keinginan untuk mengajak seluruh dunia ikut bersedih bersama kita? Hari ini apa yang tidak dibagi kepada seluruh dunia? Isi kamarmu, isi dompet, isi celana, isi kepala, isi hati - yang berisi dan tidak berisi. Saya pun berbagi. Tapi apakah saya ikut dalam lingkaran kebaikan yang genit itu? Saya tidak bisa mengukur diri sendiri.  Keinginan untuk berbagi kadang melemparkan saya kepada kenaifan mencolok dan tampil aneh di dunia yang lapang dada ini. Dan saya orang yang paling sempit. Saya sungguh ingin berbagi yang baik-baik. Mereka yang membagi isi kamar, isi dompet, isi hati kepadamu, pasti juga berpikir bahwa itu baik dibagi(?). Tapi memangnya apa itu kebaikan. Apakah arti kebaikan ? Semua orang sedang menikmati apapun yang dihidangkan di depan. Lalu saya masih punya pertanyaan, kenapa seseorang ingin membagikan kesedihan? Kita tidak diciptakan untuk kuat menanggung hidup sendirian, tapi apakah boleh mengajak seluruh dunia; kesedihan seperti ...

Elliot: Drama Psikotik-Realis dan Kegilaan Kita yang Lembut

Catatan untuk Naskah Drama "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. Pementasan perdana naskah "Elliot" oleh No-Exit Theatre, Mei 2019 Teater mewujud pada seutas tali yang menegang antara nilai dan realita nilai. Ia menyentuh langsung dan ikut tergores di setiap tarikannya. Ia mengancam kita di panggung itu, saat kita justru menjadikannya jalan menyelamatkan diri. Seorang perempuan hampir menyerah, tidak sanggup menguasai kecemasannya saat dipercaya untuk memainkan tokoh Emma, tokoh utama dalam naskah "Elliot" karya Dyah Ayu Setyorini. "Aku takut gila, seperti Emma," katanya pelan sambil menahan tawa dan malu. Dalam khasanah naskah drama Indonesia, banyak naskah yang menghadirkan sosok orang gila sebagai tokoh. Namun sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang berusaha secara utuh menghadirkan kegilaan dalam kepala tokoh ke ruang riil panggung sehingga penonton merasakan citra nyata (realis) atas hal-hal psikologis. Akar naskah ini ...